[ACTION] WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

ENAM


ORANG yang berdiri di tepi sungai sambuti serangan itu dengan melambaikan tangan kirinya. Sekali lambai saja maka kedua pisau beracun itupun mentallah.

Kaget Tapak Luwing membuat- laki-laki ini keluarkan seruan tertahan. “Manusia yang sengaja cari penyakit, siapa kau!” tanyanya membentak dan diam-diam memberikan isyarat pada kedua anak buahnya untuk bersiap-siap dan mengambil posisi mengurung.

Yang ditanya. “Ada ribut-ribut apa di sini?!”.

“Ee kunyuk gondrong!,” maki salah seorang, anak buah Tapak Luwing. “Kau berani. Bicara edan sama prajurit-prajurit Kadipaten?!”

“Oh…. jadi kalian prajurit-prajurit Kadipaten…”. Laki-laki di tepi sungai, keluarkan suara mendengus. “Setahuku prajurit-prajurit Kadipaten tidak suka urusan kekerasan, apalagi membunuh manusia begini rupa…!”.

Sementara itu. Kratomlinggo yang tadi hendak larikan diri, mendengar ada keributan baru di belakangnya perlahan-lahan palingkan kepala lalu putar tubuh dan berhenti di belakang sebuah pohon. Apa yang disaksikannya kemudian sungguh tidak diduganya.

“Kita tak perlu sembunyikan siapa kita terhadap monyet bermuka manusia ini!”, kata Tapak Luwing.

“Nah, terus terang lebih bagus!” menimpali laki-laki di tepi sungai. “Katakan saja siapa kalian!”.

“Sebelum tahu siapa kami sebaiknya lekas-lekaslah berlutut minta ampun!” kata Tapak Luwing pongah.

“Eh, kenapa begitu?”.

Karena menyangka bahwa Kratomlinggo sudah larikan diri dan tak ada lagi di tempat itu, maka berkatalah Tapak Luwing;”Ketahuitah. Tiga Hitam dari Kali Comel tidak pernah membiarkan terus bernafasnya seorang biang runyam yang ikut campur urusan!”

“Ooo… jadi kalian Tiga Hitam dari Kali Comel, rampok-rampok ganas tiada kernanusiaan itu? Pantas… pantas tampang-tampang kalian hitam macam arang…”

“Haram jadah! Terima golokku!,” teriak anak buah Tapak. Luwing yang di samping kanan. Dengan gerakan enteng dia melompat dari punggung kuda, derngan sebat goloknya berkelebat ke arah batok kepala laki-laki muda yang berdiri tetap tenang malahan dengan tertawa-tawa!

Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa laki-laki muda itu melompat ke belakang. Serangan anak buah Tapak Luwing mengenai tempat kosong. Karena begitu kesusu dan sebatnya maka laki-laki itu jadi terhuyung-huyung sendiri. Sebelum dia sempat mengimbangi badan, satu tendangan menghantam pantatnya!

“Manusia tidak tahu peradatan! Orang bicara dipotong seenaknya! Rasakan sendiri olehmu!”

Melihat kawan dan anak buahnya dipermainkan begitu rupa sampai tersungkur di tanah. Tapak Luwing dan anak buahnya yang satu lagi segera loncat dari kuda. “Beri tahu namamu lebih dulu, kunyuk!,” bentak Tapak Luwing. “Kalau tidak rohmu akan minggat percuma!”

“Bicaramu terlalu tinggi! Kalau mau tahu namaku majulah…!”.

Dengan tertawa bergelak Tapak Luwing menyerbu ke muka. Sambaran goloknya deras sedang tangan kirinya laksana palu godam membabat ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus “angina mengamuk pohon tumbang” yang memang bukan olah-olah dahsyatnya.

“Ah, rupanya kau punya ilmu yang diandalkan juga eh?” ejek lawan yang diserang. Dia merunduk untuk elakkan sambaran golok lalu lompat ke samping guna hindarkan sodokan tinju lawan dan dengan secepat kilat kemudian tangan kanannya yang terbuka menyeruak di antara kedua serangan lawan tadi, menderas ke arah kening Tapak Luwing.

Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel itu bukan orang yang berilmu rendah. Kalau tidak percuma saja dia menjadi kepala komplotan yang ditakuti selama bertahun-tahun disepanjang Kali Comel dan perbatasan. Dengan sebat, dengan keluarkan bentakan dahsyat Tapak Luwing membuat satu gerakan yang luar biasa. Tubuhnya mencelat satu tombak ke atas dan dalam lompatan itu kaki kanannya menderu muka lawan dan disaat yang sama pula dari sebelah belakang menderu golok anak buah Tapak Luwing ke arah punggung laki-laki muda itu.

Yang diserang bersiul. “Akh… kalian rupanya betul-betul maui jiwaku! Tapi kurasa saat ini belum waktunya!”. Pemuda ini berkelebat. Lututnya menekuk kedua tangannya berputar seperti kitir dan: “bluk ……. buk”!.

Anak buah Tapak Luwing terjerongkang ke belakang, muntah darah dan menggeletak,di tanah. Tapak Luwing sendiri merintih kesakitan sewaktu lengan lawan menghantam tepat tulang keringnya! Di saat itu anak buah Tapak Luwing yang tadi ditendang pantatnya sudah bangun kembali dan dengan ganas lancarkan serangan dahsyat. Namun nasibnya juga sial. Sekali lawannya berkelebat maka goloknya kena dihantam sikut lawan! Yang satu inipun roboh pula menyusul kawannya.

Merasakan sakit pada kakinya, melihat kedua anak buahnya dibuat begitu rupa, benar-benar Tapak Luwing hampir-hampir merasa seperti orang mimpi. Apakah agaknya kali, ini komplotan yang dipimpinnya menemui “batunya”? Selama bertahun-tahun bertualang dan menjadi Pemimpin Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel baru hari itu dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua anak buahnya dibikin menggeletak hanya dalam satu gebrakan saja! Bahkan dia sendiri merasakan pula bekas tangan lawannya. Lawan yang masih muda belia dan sama sekali tidak

dikenalnya.

Dengan penuh geram_Tapak Luwing salurkan tenaga dalamnya lewat lengan kanan terus kegolok sedang tangan kirinya saat itu sudah memegang tiga pisau beracun. Kedua kakinya terpentang, pinggangnya sedikit membungkuk ke muka. Tangan yang memegang pisau dinaikkan ke atas agak ke belakang sedang tangan kanan memegang golok lurus-lurus ke muka.

“Kenalkah kau jurus ini, pemuda keparat?!”.

“Ah… hanya jurus — menyebar bunga menusuk buah — nenek-nenek keriputpun bisa mengenalnya!,” sahut si pemuda.

Bukan saja Tapak Luwing menjadi geram diajek demikian rupa namun dia juga kaget melihat bahwa lawannya bisa menerka jurus yang bakal dikeluarkannya itu!

Untuk menutupi keterkejutannya Tapak Luwing berkata: “Kau sudah tahu nama jurus ini, baik sekali!. Tapi juga ketahuilah ini adalah jurus kematianmu! Bagusnya kasih tahu namamu sekarang juga agar kau mampus tidak dengan penasaran!”.

“Sudahlah…. jangan banyak bacot! Buktikanlah kehebatan jurus yang kau andalkan itu!”.

Tapak Luwing tertawa dingin. Tubuhnya semakin membungkuk. Hampir tak kelihatan dia menggerakkan tangan kirinya maka tiga pisau yang dipegangnya tahu-tahu sudah meluncur sebat sekali ke arah si pemuda. Yang pertama menjurus batang leher, yang kedua mencuit ke dada dan yang terakhir menggebubu ke bawah perut!

Bukan saja daya lesat pisau itu hebat sekali mengingat hanya di lemparkan dengan tangan kiri, namun juga tempat-tempat yang diserangnya juga adalah tempat-tempat yang berbahaya mematikan. Pada detik pisau-pisau beracun itu melesat ke muka, pada saat itu pula Tapak Luwing menerjang dan putar goloknya dengan sebat. Dorongan angin golok yang. menderu menambah kencangnya daya lesat tiga pisau itu. Maka itulah jurus “menyebar bunga rnenusuk buah”. Pisau dan golok datang susul menyusul!

“Akh jurusmu ini boleh juga!,” kata si pemuda. “Tapi coba terima dulu telapak tanganku!”. Si pemuda pukulkan tangan kirinya ke muka. Angin dahsyat melanda dan mementalkan ketiga pisau. Tapak Luwing berseru kaget karena dua dari pisau itu akibat dorongan angin pukulan lawan berbalik menyerang ke arahnya. Mau tak mau Tapak Luwing terpaksa pergunakan goloknya untuk meruntuhkan dua pisau itu.

“Tring….. tring!”

Dua pisau beracun patah-patah dan terlempar jauh. Gerakan untuk menangkis dua pisau ini membuat Tapak L.uwing melupakan pertahanan dirinya seketika. Ketika dia memasang kuda-kuda baru maka telapak tangan kanan lawan sudah berada dekat sekali ke kepalanya. Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel ini pergunakan goloknya untuk membabat lengan lawan namun kurang cepat karena lengan kiri si pemuda lebih cepat menyusup membentur sambungan sikunya.

“Krak”!

“Plak”!

Tapak Luwing mengeluh dan huyung kebelakang. Lengannya patah. Keningnya yang kena dihantam telapak tangan lawan sakit dan panas bukan main. Pada kulit kening itu kini kelihatan tertera angka 212! Tapak Luwing coba alirkan tenaga dalam dan atur jalan darahnya. Namun kekuatannya seperti punah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Keningnya panas, sakit dan pemandangannya berkunang, lututnya gontai!

“Keparat…,” desis Tapak Luwing.

“Ee… masih bisa memaki?”

“Kalau hari ini aku kena kau celakai jangan anggap kau sudah mempecundangi aku, orang muda. Suatu hari kelak aku akan mencarimu dan mematahkan batang lehermu!”. Tapak Luwing ambil tiga pisau terbang dengan tangan kirinya. Cepat sekali senjata itu dilemparkannya ke arah si pemuda lalu secepat itu pula dia putar tubuh untuk larikan diri. Si pemuda melompat ke samping. Dua pisau lewat di kiri kanannya. Pisau ketiga diluruhkannya dengan lambaian tangan kiri! Kemudian sambil totokkan dua jari tangan kanannya mengirimkan totokan jarak jauh berserulah si pemuda: “Kenapa pergi buru-buru?! Bicaraku tadi padamu belum habis!”

Kontan saat itu juga tubuh Tapak Luwing menjadi kaku tegang tak bisa bergerak lagi! Si pemuda tertawa dan berpaling pada pohon besar di tepi sungai. “Saudara yang sembunyi di belakang pohon. keluarlah. Aku mau bicara juga dengan

kau!”.

Kratomlinggo, yang berdiri di belakang pohon itu terkejut. Namun karena tahu bahwa itu pemuda bukanlah dari golongan jahat maka tanpa ragu-ragu dia segera keluar. Lagi pula penuturan Tapak Luwing tadi yang mengaku bahwa dia.dan kawan-kawannya adalah Komplotan Tiga Hitam dari Kalkomel membuat dia merasa perlu melakukan penyelidikan lebih jauh.

“Saudara, apakah yang telah terjadi di sini sebelumnya dengan kau dan kawankawan…?”.

“Panjang ceritanya, saudara. Tapi sebelumnya kalau aku boleh tahu siapa namamu…?”

“Aku Wiro…,” jawab si pemuda.

“Aku Kratomlinggo. Aku dan kawan-kawanku yang malang itu sama-sama dari desa Bojongnipah. Kami bermaksud pergi ke Kotaraja…”

Maka Kratomlinggopun menuturkan segala sesuatunya, mulai dari soal pajak gila yang dilarik oleh Ki Lurah Kundrawana sampai dengan kematian keempat kawannya itu. Wiro atau Wiro Sableng alias Pendekar 212 geleng-gelengkan kepalanya. “Aku memang sudah lama dengar nama Komplotan bejat mereka. Yang satu ini kalau tak salah bernama Tapak Luwing. Pantas saja selama beberapa waktu terakhir ini tak kelihatan mereka malang melintang di

sepanjang Kali Comel. Rupanya tengah bikin kejahatan di sini…”.

“Dan pastilah penjahat-penjahat ini bekerjasama atau jadi- kaki tangan Ki Lurah Kundrawana…”.

“Boleh jadi,” sahut pendekar 212. “Tapi mungkin juga merekalah biang runyam yang melakukan pemerasan terhadap Ki Lurah!”

Kratomlinggo mengangguk.

“Supaya jelas biar bangsat yang satu ini kita tanyai,” kata Wiro Sableng pula. Dia melangkah mendekati Tapak Luwing untuk melepasakan totokan di tubuh kepala Komplotan Tiga Hitam itu. Namun baru saja satu tindak dia melangkah tiba-tiba sekali berkelebatlah satu sosok tubuh dari kegelapan. Makhluk ini langsung meraih pinggang Tapak Luwing dan membopong melarikannya!

Kratomlinggo terkejut

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berteriak: “Maling tengik! Berhenti!”.

Sebagai jawaban, terdengar suara tertawa bekakakan dari orang yang melarikan Tapak Luwing itu.

“Wiro Sableng, pemuda gendeng! Jangan sangka cuma kau sendiri yang jago dan sakti di jagat ini! Aku tunggu kau besok siang di Rawasumpang! Kuharap kau punya nyali unhuk menerima undangan kematianmu ini! Ha… ha… ha …!”

“Sompret betul! Siapa kau! Berhentil”.

“Besok siang. Wiro!” “

Dengan, geram pendekar 212 lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”! ke arah manusia tak dikenal itu! Deru angin yang tiada terkirakan dahsyatnya menyerang si orang asing. Pada saat itu pula terlihat selarik sinar biru. Dan angin pukulan Wiro Sableng terbendung laksana membentur dinding baja! Terkejutlah pendekar 212. Pukulan yang dilancarkannya tadi disertai hampir sepertiga dari tenaga dalamnya. Namun manusia yang tak dikenal itu berhasil meruntuhkan pukulan tersebut! Besarlah dugaan Wiro Sableng bahwa orang yang memboyong Tapak Luwing itu adalah guru Tapak Luwing., setidak-tidaknya kakak seperguruannya. Atau mungkin juga seorang sakti dari golongan hitam yang berkawan dengan Tapak Luwing.

***
 
Last edited:

TUJUH​



HALAMAN rumah lurah bojongnipah penuh oleh penduduk. Suasana malam terang benderang oleh puluhan obor. Agaknya penduduk Bojongnipah sudah tak dapat menahan ke sabarannya lagi untuk mencincang dengan segala senjata yang mereka bawa, kedua manusia yang saat itu terikat ke tiang langkan rumah. Mereka tiada lain daripada anak-anak buah Tapak Luwing yang telah dirobohkan oleh Pendekar 212. Keduanya telah siuman. Di samping terikat ke tiang, keduanya juga berada dalam pengaruh totokan Wiro Sableng.

Kratomlinggo berdiri di samping Ki Lurah Kundrawana. Beberapa tombak dari mereka berdiri tenang-tenang Wiro Sableng. Kratomlinggo barusan saja menerangkan apa yang diketahuinya tentang kedua orang itu kepada Ki Lurah dan juga apa yang telah terjadi di tepi sungai dekat jembatan. Bola mata Ki Lurah Kundrawaana pulang balik memandangi Wiro Sableng dan kedua anak buah Tapak Luwing. Saat itu Lurah Bojongnipah ini tak dapat lagi menahan hati dan mengendalikan amarahnya. Untuk sesaat lupa dia bahwa anaknya masih berada di dalam tawanan Tapak Luwing dan Tapak Luwing sendiri saat itu tidak berhasil ditangkap!

“Saudara-saudaraku se_Bojongnipah…,” kata Kundrawana seraya maju beberapa langkah ke hadapan penduduk yang berdesak-desakan. “Sekarang kurasa sudah waktunya untuk menerangkan kepada kalian apa sesungguhnya latar belakang timbulnya pajak gila itu! Aku dengan hati hancur dan seribu satu kepahitan telah terpaksa menerima segala kata-kata dan cap yang kalian lemparkan padaku! Kalian mencap aku sebagai tukang peras, aku telah terima. Kalian cap aku sebagai lintah darat, sebagai tukang tindas… sebagai ini, sebagai itu, semuanya aku terima! Namun hari ini, malam ini kalian terimalah juga satu penuturan dariku, satu kenyataan yang menyebabkan terjadinya pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah berkata bahwa pajak itu dipungut atas perintah Raja! Untuk pembangunan dan pemeliharaan balatentara Kerajaan. Kini kuakui itu semua hanya alasan belaka, hanya dusta besar yang aku karang-karang demi untuk menyelamatkan keluargaku dan juga menyelamatkan kalian semua dari keganasan dan kejahatan yang kalian tidak ketahui …”

Penduduk Bojongnipah saling pandang memandang satu sama lain penuh ketidak mengertian. Ki Lurah Kundrawana menyapu wajah mereka seketika lalu meneruskan bicaranya. “Tadi kalian sudah dengar semua keterangan Kratomlinggo. Ini satu kenyataan bagus yang dengan sendirinya telah mencuci diriku. Tapi biar aku beri penjelasan lebih lengkap. Dua manusia yang terikat itu adalah anak buah Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel, komplotan rampok-rampok bejat yang dikepalai oleh Tapak Luwing yang berhasil melarikan diri ditolong oleh seorang tak dikenal. Jadi ketiganya sama sekali bukanlah prajurit-prajurit Kadipaten seperti yang mereka sengaja menyamar pagi tadi! Tiga minggu yang lewat, di satu malam mereka telah datang ke rumahku dan memaksaku untuk menarik pajak sepuluh kali lebih besar dari yang sudah-sudah. Jadi berarti aku harus menarik pajak sebanyak sebelas kali terhadap kalian. Yang sepuluh bagian harus kuserahkan pada mereka sedang yang satu bagian sebagaimana biasa diserahkan ke Linggajati di mana Adipati Linggajati kemudian meneruskan ke Kotaraja…

Aku coba untuk melawan. Tapi di samping mereka bertiga berilrnu tinggi aku tak bisa berbuat apa-apa karena anakku satu-satunya mereka bawa! Anakku akan mereka bunuh kalau pajak itu tidak aku pungut dari penduduk di sini! Kalian bisa merasakan dan mengetahui sendiri kini. Tak ada jalan lain bagiku untuk membantah, kecuali kalau ingin putera tunggalku rnenemui kematiannya…!”.

Suasana malam sesepi dipekuburan kini! Penduduk sama menganga dan terlongong-longong. Tentu saja hal ini tiada diduga sama sekali oleh mereka. Dan serentak pula dengan itu maka menggelegaklah kemarahan penduduk. Ketika seseorang di antara mereka berseru: “Cincang dua bangsat ini!,” maka menyerbulah penduduk Bojongnipah dengan senjata masing-masing. Namun disaat itu pendekar 212 maju ke muka dan berseru nyaring. Sengaja seruannya itu disertai tenaga dalam untuk mempengaruhi. penduduk yang tengah marah itu.

“Saudara-saudara, jangan ceroboh! Kunyuk-kunyuk ini akan dapat bagiannya juga! Tapi kalian harus ingat pada nasib anak Lurah kalian! Karena itu biarkan aku bicara sebentar dengan salah satu dari mereka… !”

Kalau saja penduduk tidak mendapat keterangan dari Kratomlinggo siapa adanya pemuda berambut gondrong itu, pastilah penduduk tak akan mau ambil perduli akan ucapan Wiro Sableng, lagi pula tenaga dalam si pemuda diam-diam sudah meresap mempengaruhi mereka!

Wiro mendekati anak buah Tapak Luwing yang terikat di tiang langkan sebelah kanan.

“Namamu siapa, sobat?,” tanyanya.

Laki-laki itu diam saja. Hanya kedua bola matanya berputar menyorot melontarkan pandangan sangat membenci dan mendendam.

“Eeeh rupanya bekas tanganku membuat kau jadi tuli, huh!”.

“Keparat! Tak usah banyak bicara… Kelak hari pembalasan dari pemimpinku Tapak Luwing akan tiba! Kalian semua di sini akan dikirim ke neraka!”.

Wiro Sableng menyeringai. “Mungkin kau dan kawanmu yang akan lebih dahulu dkincang penduduk sampai lumat!” kata Wiro Sableng pula. “Tak usah banggakan pemimpinmu! Dia sudah kabur bersama seorang kawannya!”.

Keterangan ini mengejutkan kedua anak buah Tapak Luwing. Memang sejak mereka siuman tadi mereka tidak melihat pemimpin mereka dan tak tahu berada di mana.

Dan Wiro berkata lagi: “Aku mempunyai dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan Adipati di Linggajati. Katakan saja terus terang …. Anak buah Tapak Luwing diam.

“Katakan!,” bentak Wiro.

Sebaliknya laki-laki itu meludah ke lantai. “Beset saja mulutnya!,” teriak Kratomlinggo yang sudah tak sabaran.

“Kau tak mau kasih keterangan?” tanya pendekar 212.

Anak buah Tapak Luwing itu meludah sekali lagi ke lantai langkan!

Wiro tertawa. Dijangkaunya sebuah obor yang dipegang oleh seorang penduduk.

“Pernah rasa panasnya api?,” tanya pendekar ini dengan tertawa-tawa. “Tampang-tampang macammu ini akan lebih keren bila disundut begini rupa!”.

Wiro Sableng lantas menyorongkan api obor ke muka laki-laki itu. Anak buah Tapak Luwing tak sanggup gerakkan kepalanya karena tertotok. Keluhan kesakitan terdengar tiada henti. Udara malam kini berbau hangusnya bulu mata, alis dan sebagian rambut laki-laki itu. Kulit mukanya kelihatan merah terbakar.

“Mau sekali lagi?!,” tanya Wiro dengan tertawa-tawa.

“Aku bersumpah kalau lepas akan membunuhmu dan tujuh keturunanmu!,” kata anak buah Tapak Luwing penuh penasaran.

“Jangan ngaco! Kau tak akan lepas dari sini. Kalaupun lepas mungkin cuma rohmu saja! Dan aku belum punya keturunan…!”. Pendekar muda itu tertawa mengekeh. Mau tak mau orang banyak yang menyaksikan itu jadi ikut-ikutan geli.

“Ayo, katakan apa hubunganmu dengan Adipati Linggajatit,” bentak Wiro seraya mendekatkan api obor ke muka laki-laki itu.

“Tak ada hubungan apa-apa…!,” jawab anak buah Tapak Luwing.

“Ah… ini satu kebohongan atau kedustaan?!”.

“Aku tidak dusta. Tidak bohong!”.

“Lantas apa perlumu pagi tadi menyamar bertiga-tiga menjadi prajurit-prajurit Kadipaten…?”.

“Itu bukan urusanmu!”.

“Oh begitu? Memang bukan urusanku. Tapi urusan api obor ini!”. Dan sekali lagi api obor menjilati muka laki-laki itu. Dia menjerit-jerit. Wiro rnenunggu sampai beberapa detik di muka. “Mau kasih keterangan apa tidak?” tanyanya.

“Aku akan terangkan… !” berkata juga laki-laki itu pada akhirnya.

Wiro tersenyum. Dilariknya obor kembali. “Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua orang dengar!”.

Maka anak buah Tapak Luwing itupun memberikan penuturan: “Adipati Seta Boga dari Linggajati mengirimkan seorang utusan pada kami. Dia telah membuat rencana untuk melakukan pemerasan di sini. Kami ditawarkannya pekerjaan untuk menarik pajak itu dengan perjanjian hasilnya dibagi dua. Pemimpin kami menerimanya dan… dan…”.

“Sudah. Itu sudah cukup terang!” kata Wiro Sableng pula.

Ki Lurah Kundrawana maju ke muka. “Jadi ini semua dibiangi oleh Adipati Seta Boga …?”.

“Ya…”.

“Kita harus tangkap Adipati itu!” teriak penduduk.

“Gantung saja bersama kunyuk-kunyuk yang dua ini!” teriak yang lain.

Pendekar 212 angkat tangan kirinya. “Soal Adipati itu serahkan padaku,” katanya. “Yang penting kini ialah menyelamatkan anak laki-laki Ki Lurah…”.

Tersiraplah darah Ki Lurah Kundrawana bila dia ingat kembali akan anaknya. Dijambaknya rambut anak buah Tapak Luwing. “Anakku di mana kalian sekap?!” tanyanya.

Laki-laki itu tertawa buruk. Sangat buruk, apalagi melihat mukanya yang hangus dan merah mengelupas. “Jangan harap anakmu akan selamat Kundrawana!”

Kundrawana menyentakkan kepala laki-laki itu. “Dimana?!”.

“Mungkin sudah mampus di tangan pemimpinku!”

Kundrawana mengambil obor dari tangan Wiro Sableng. Anak buah Tapak Luwing menjerit keras ketika obor itu disodokkan ke mata kanannya, Mata itu pecah dan darah meleleh di kulit mukanya yang mengelupas hangus!

“Kedua matanya akan kubikin buta keparat! Kecuali, kalau kau segeramenerangkan di mana anakku kalian sekap!”.

Laki-laki itu sebenarnya menyadari bahwa kalau sudah tertangkap demikian rupa dirinya tak akan mungkin lagi bisa selamat. Adalah percuma saja baginya untuk memberikan keterangan. Namun dalam diri manusia yang berkeadaan seperti anak buah Tapak Luwing saat itu, walau bagaimanapun senantiasa selalu terdapat sekelumit harapan untuk bisa menyelamatkan diri sehingga ancaman matanya akan dibutakan kedua-duanya itu mau tak mau mengerikannya juga! Maka diapun memberikan keterangan : “Anak itu disekap di satu kuil tua di Parit Kulon…”.

Lega sedikit hati Kundrawana. “Tapi,” katanya, “bila aku datang ke sana anakku tidak ada atau kutemui dia dalam keadaan sudah mati jangan harap kau bisa melihat dunia ini sampai esok lusa!”. Kini pendekar 212 yang buka suara : “Saudara-saudara apapun yang kalian lakukan terhadap dua kunyuk ini, itu bukan urusanku lagi. Tapi sedapatdapatnya

jangan diapa-apakan dulu dia sebelum anak Ki Lurah ketemu dalam keadaan selamat. Soal Adipati Seta Boga di Linggajati, serahkan padaku. Besok kalian bisa mengambil sosok tubuhnya di Kadipaten Linggajati. Cuma aku tak dapat memastikan apakah dalam keadaan masih bernafas atau tidak. Itu tergantung pada sikapnya sendiri! Sekiranya dia masih hidup, ada baiknya kalian giring saja ke Kotaraja… Nah, selamat tinggal!”.

“Saudara tunggu dulu!” seru Kratomlinggo dan Kundrawana hampir berbarengan. Namun Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sudah berkelebat lewat langkan, lewat kepala-kepala penduduk Bojongnipah lalu lenyap ditelan kegelapan malam.

*
*
*

HANYA sebentar suasana sepi menyeling. Bila bayangan sosok tubuh pendekar 212 sudah lenyap ditelan kegelapan malam maka lupalah penduduk Bojongnipah akan pesan pendekar itu. Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak buah Tapak Luwing yang berada dalam keadaan tak berdaya, terikat ketiang langkan dan tertotok. Puluhan senjata laksana hujan bertubi-tubi mampir ke kepala dan tubuh kedua orang itu. Tiada terdengar suara jeritan kedua orang ini, rintihanpun tidak! Mereka telah menemui nasib pembalasan atas kejahatan mereka. Keduanya menghembuskan nafas dengan tubuh mandi darah dan muka hancur tak bisa dikenali lagi. _

Ki Lurah Kundrawana tidak menyaksikan lagi apa yang diperbuat penduduk Bojongnipah itu. Bersama Kratomlinggo dan tiga orang lainnya, dengan menunggangi kuda, dia meninggalkan Bojongnipah menuju Parit Kulon, sebuah pesawangan yang jarang didatangi manusia, terletak kira-kira ernpat kilometer dari desa. Satu-satunya bangunan di Parit Kulon adalah kuil tua yang diterangkan anak buah Tapak Luwing. Karenanya meskipun malam tak sukar untuk mencarinya.

Ki Lurah Kundrawana menyalakan obor yang dibawa. Diiringi oleh keempat orang lainnya dia masuk ke dalam kuil tua itu. Meski dia menemui anaknya dalam keadaan menyedihkan namun Kundrawana merasa. lega dan gembira karena anak satu-satunya itu ternyata masih bernafas. Anaknya tidur di ubin kotor dengan pakaian yang juga kotor. Tubuhnya kurus dari parasnya pucat karena tak terurus. Tangan dan kakinya diikat. Kundrawana bertutut lalu memeluk anaknya itu. Kratomlinggo membuka tali yang mengikat tangan serta kaki si anak yang saat itu sudah bangun. Tetesan air mata mengalir di pipi Ki Lurah Kundrawana. Tapi air mata kali ini adalah air mata gembira.

Sementara itu di tempat lain ….

Tapak Luwing merasa tubuhnya yang kaku karena ditotok itu dibawa lari dalam kegelapan malam oleh seseorang. Bila sinar bulan yang tidak begitu terang menyeruaki pohon-pohon sepanjang jalan yang mereka lalui dan menyinari paras laki-laki itu samar-samar. Tapak Luwing terheran dan berpikir-pikir. Laki-laki yang membawanya berlari itu tidak dikenalnya sama sekali. Siapa dia dan kemana manusia ini mau membawanya! Kemudian apakah dia seorang yang akan menolongnya atau bukan? Tapi melihat gelagat dan ucapannya terhadap pemuda berambut gondrong tadi Tapak Luwing bisa sedikit memastikan bahwa laki-laki ini tidak bermaksud jahat terhadapnya. Diam-diam hatinya

merasa lega. Maka bertanyalah dia: “Sobat, kau siapakah?”.

2“Jangan banyak tanya dulu!” menjawab orang yang memanggulnya. Suaranya besar dan parau, larinya laksana angin.

“Kita ini kemanakah?,” tanya Tapak Luwing lagi.

“Aku bilang jangan bertanya apa-apa dulu. Apa tidak mengerti?!”

Tapak Luwing penasaran sekali. Namun dia menurut dan menutup mulutnya. Sepanjang perjalanan itu, satu hal saja yang diketahui oleh Tapak Luwing tentang orang yang memanggul dan membawa larinya yaitu laki-laki itu puntung tangan kanannya sampai sebatas bahu!

2Ketika sampai di sebuah telaga kecil akhirnya laki-laki bertangan buntung itu menghentikan larinya. Tapak Luwing diturunkan dan disandarkan ke sebatang pohon di tepi telaga. Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Tapak Luwing.

“Atur nafas dan jalan darahmu. Kerahkan tenaga dalam!” berkata si tangan buntung.

Tapak Luwing segera melakukan hal itu. Tidak disuruhpun memang semustinya dia sudah bermaksud demikian, sesuai dangan setiap ajaran ilmu silat dari aliran dan golongan manapun. Kemudian dengan tangannya yang cuma satu laki-laki itu dangan cekatan mengobati lengan Tapak Luwing yang patah dan membalutnya dangan secarik kain.

“Aku berhutang budi dan nyawa padamu sobat,” kata Tapak Luwing.

Laki-laki yang menolongnya tertawa. “Ada hutang ada piutang…,” katanya di antara tertawanya, “ada budi ada balas”.

“Maksudmu sobat?” tanya Tapak Luwing. “Di satu hari kelak pertolongan yang kuberikan padamu ini akan kutagih…”.

Tapak Luwing kerenyitkan kening. “Tidak kau tagihpun, jika ada kesempatan aku pasti akan membalasnya. Bahkan jika aku sudah sembuh dan kau bersedia ikut ke Kali Comel, aku akan hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan dan uang seberapa saja kau suka”

Si tangan buntung menyeringai. Gigi-giginya hitam kecoklatan. “Aku tidak butuh semua itu,” desisnya. Dipegangnya balutan di lengan Tapak Luwing. Sesaat kemudian Tapak Luwing merasakan aliran tenaga dalam yang ampuh merembas ke dalam tubuhnya. Tubuhnya menjadi segar kini dan rasa sakit pada lengannya yang patah itu berkurang.

“Terima kasih,” kata Tapak Luwing. “Apa sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak Luwing…”

“Aku tahu siapa kau. Aku sudah lama dengar tentang komplotanmu yang malang melintang di sepanjang Kali Comel. Dan ketika tahu bahwa kau berada di sekitar sini, timbul satu maksud untuk menemuimu”.

“Apakah maksud itu?” bertanya Tapak Luwing. “Tadi aku sudah bilang, ada hutang ada piutang, ada budi ada balas. Satu hari kelak aku membutuhkan tenagamu…!”.

“Jangan kawatir, aku pasti bersedia. Tapi untuk keperluan apakah?”.

“Kau tak usah tahu untuk keperluan apa. Kau nanti akan tahu juga. Dengar, nanti pada hari tigabelas bulan dua belas kau harus dating ke Gunung Tangkuban Perahu…”

“Gunung Tangkuban Perahu…?”.

“Ya. Masih kira-kira delapan bulan dari sekarang. Dan satu hal harus kau ingat. Jangan sekali-kali coba kembali ke desa Bojongnipah untuk buat perhitungan dengan Ki Lurah Kundrawana, salah-salah kau bisa ketemu dangan bangsat yang telah mencelakaimu tadi! Walau bagaimanapun untuk saat ini kau tak akan mampu menghadapinya! Ada saat untuk menyelesaikan urusan dangan dia. Karena itu kau musti datang ke Tangkuban Perahu pada hari tiga belas bulan dua belas nanti. Dengar?”

Tapak Luwing mengangguk. “Kau tahu siapa bangsat itu agaknya?,” dia bertanya.

“Angka pengenalnya telah dituliskannya dikeningmu”.

Terkejutlah Tapak Luwing. Dirabanya keningnya. Tak ada rasa sakit tapi memang kulit kening itu agak kesat dari sebelumnya.

“Berkacalah ke telaga itu”.

Tapak Luwing merangkak ke tepi telaga. Dia membungkuk dekat-dekat ke air telaga yang jernih itu dan di bawah penerangan sinar bintang-bintang serta bulan sabit samar-samar dilihatnya tertera tiga buah angka. Angka 2 1 2 ! Tapak Luwing memandang keheran-heranan pada si tangan buntung lalu memperhatikan lagi mukanya di air telaga.

Diusapnya keningnya. Diusapnya lagi sampai beberapa kali tapi angka 212 itu tidak mau hilang. Dibasahinya keningnya dangan air telaga lalu diusapnya lagi berulang kali. Tetap saja angka 212 itu tidak mau hilang!

“Dengan. apapun dan cara bagaimanapun angka itu tak akan bisa pupus dari keningmu Tapak Luwing! Angka itu ditera dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam dan kesaktian yang luar biasa. Sekalipun kulit keningmu dikelupas sampai ke batok kepalamu maka pada tulang batok kepalamupun angka itu sudah meresap!”

“Siapa sesungguhnya manusia muda berambut gondrong dengan angka pengenal 212 itu…” tanya Tapak Luwing pula.

“Namanya Wiro Sableng. Dia sakti sekali…” jawab si tangan buntung. “Tapi,” katanya kemudian menambahkan, “dihari tiga belas bulan dua belas nanti, kelak ajalnya akan sampai!”.

Diam-diam, meskipun si tangan buntung tidak menerangkan tapi Tapak Luwing tahu, kini bahwa antara si tangan buntung dan pemuda rambut gondrong yang telah mencelakainya itu terdapat sangkut paut dendam kesumat.

“Selama waktu delapan bulan mendatang,” berkata lagi si tangan buntung, “kuanjurkan kepadamu untuk berlatih ilmu silat yang telah kau miliki agar lebih hebat.”

Tapak Luwing mengangguk.

Si tangan buntung berkata: “Sekarang kita berpisah. Jangan lupa hari tiga belas bulan dua belas itu. Dan jangan coba-coba untuk tidak memenuhi perintahku ini…”

“Kau mau kemana sobat?”

“Urusanku masih banyak…”

“Tapi kau masih belum menerangkan namamu”.

“Namaku Kalingundil!”



***
 
Last edited:
DELAPAN

Laki-laki itu berjalan di liku-liku lorong bagian belakang istana dengan menundukkan kepala. Sekali-sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal istana tidak menegur atau menahan laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa laki-laki itu adalah Udayana, pembantu Prabu Kamandaka. Segala urusan rumah tangga sang Prabu dialah yang mengurusnya. Di pintu besar gedung istana sebelah belakang laki-laki ini berhenti sebentar lalu menyeberangi halaman kecil dan masuk ke pintu sebuah bangunan kecil yang bagus bentuknya. Justru di sini dua orang pengawal memalangkan tombak menghentikannya. “Aku mau ketemu Raden Werku Alit,” kata Udayana.

“Ada keperluan apa?” tanya salah seorang pengawal.

“Beliau sudah tahu.”

“Tunggu di sini,” Pengawal itu masuk yang seorang tetap di tempatnya. Tak lama kemudian pengawal yang masuk muncul kembali. “Kau dipersilahkan menghadap.” katanya memberi tahu.

Udayana mengangguk dan memasuki pintu gedung. Di dalam sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut kedatangannya. Ditepuk-tepuknya bahu Udayana. “Bagaimana? Ada perkembangan baru…?” Werku Alit berbadan tinggi langsing dan me-melihara kumis panjang menjulai seperti tali, seperti raja-raja Tiongkok!

“Perkembangan baru belum ada Raden…. Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit banyak nya ada perlunya juga saya sampaikan kepada Raden…”

“Bagus, katakanlah Udayana….”

“Rara Murni adik Kamandaka siang besok akan berangkat ke Kalijaga untuk menyambangi adik neneknya. Dia akan pergi dengan kereta dan dikawal secukupnya…. “

“Hem….” Werku Alit menggumam dan mengusut-usut kumis talinya. “Aku belum melihat adanya hubungan keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi tunggu sebentar, coba kupikir….” Tangan yang tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening.

Dan tangan itu tiba-tiba menepuk bahu Udayana sampai laki-laki ini terkejut.

“Aku telah melihat kegunaan keteranganmu ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita menghubungi Kalasrenggi. Katakan bahwa aku akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan.”

Udaya menjura. “Perintah Raden akan saya jalankan,” katanya lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu.
* * *​

Seluruh balatentara kerajaan Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan dan tiap-tiap pasukan dibagi dual masing-masing bagian dikepalai oleh seorang yang disebut kepala prajurit, Kalasrenggi adalah salah seorang dari kepala pasukan balatentara Pajajaran. Sebagai kepala pasukan tentu saja dia memiliki ilmu dan pengalaman yang dapat diandalkan. Dan memang banyak orang yang mengatakan bahwa diantara lima kepala pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi adalah yang paling tinggi ilmunya. Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula terseret ke dalam rencana busuk Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka!

Siang tadi seorang suruhan Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan menyampaikan pesan bahwa Werku Alit akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan. Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat yang ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu. Sebenarnya tak pantas disebut pondok karena sama sekali bangunan tua itu tiada mempunyai dinding dan atapnya pun sudah sebagian melompong dimakan umur.

Pondok atau lebih tepat teratak itu sunyi saja. Tak seorang pun kelihatan di sana. Kalasrenggi berpikir tentu Raden Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun menunggulah. Dinyalakannya sebatang rokok. Dia memandang ke angkasa. Langit kelihatan mendung. Bintang-bintang mulai tertutup awan. Bulan menghilang dan angin bertambah besar serta dingin. Dia tak sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah hampir habis. Berbarengan ketika rokok itu dibuangnya ke tanah maka dipengkolan muncul tiga sosok bayangan. Dua dari sosok bayangan itu berhenti sedang yang satu terus melangkah ke arah teratak itu.

“Sudah lama kau…?” bertanya orang yang datang ini yang tak lain dari Werku Alit adanya.

“Sudah juga,” sahut Kalasrenggi. “Raden mau bicara apa dengan saya?”

Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Angin tambah kencang. “Ada tugas buatmu besok Kalasrenggi,” kata Werku Alit.

“Tugas apakah, Raden?”

Hujan rintik-rintik berubah menjadi lebat. Guruh menggelegar. Kilat menyambar. Sesosok bayangan putih dibawah penerangan kilat yang hanya sedetik saja terangnya, kelihatan berlari sangat cepat menuju teratak tua itu. Werku Alit dan Kalasrenggi terkejut sekali dan tangan-tangan mereka segera meraba hulu senjata di pinggang masing-masing!

“Hujan sialan!” Terdengar orang yang baru datang ini merutuk. Kemudian dia berpaling pada Werku Alit dan Kalasrenggi dan berkata: “Saudara-saudara, aku numpang mondok sama-sama kalian.”

Werku Alit dan Kalasrenggi memandang tajam pada laki-laki yang baru datang ini. Dia masih muda, berbadan kekar dan berambut gondrong. Kedatangannya mau tidak mau mencurigakan kedua orang itu meski ada alasan bahwa dia datang ke sana untuk berteduh karena hari hujan lebat.

“Kau siapa?!” tanya Kalasrenggi membentak garang. Pandangannya buas sekali. Tangan kirinya menyelinap ke pinggang.

Laki-laki muda yang dibentak memandang dengan keheran-heranan. “Memangnya apa aku tidak boleh mondok di sini, Saudara?!”

“Aku tanya kau siapa dan jangan banyak tanya!” hardik Kalasrenggi.

Pemuda itu bersiul dan menyeringai. “Tak usahlah bicara pakai membentak segala. Urusan kecil kalau dipersoalkan dengan kasar bisa menimbulkan gara-gara yang tidak diingini!”

Kalasrenggi dengan tidak sabar melangkah ke hadapan pemuda itu dan hendak menempelaknya. Tapi langkahnya dihentfkan ketika dalam kegelapan dan masih sempat rnelihat isyarat yang diberikan oleh Werku Alit. Werku Alit tak ingin terjadi keributan yang buntut-buntutnya bisa membocorkan rencana besamya. Karena itu dengan terancam dia melangkah mendekati pemuda itu.

“Saudara,” kata Werku Alit sambil memegang bahu si pemuda. “Harap maafkan. Kawanku memang lagi kasar berangasan habis kalah judi! Sudahlah, tak ada yang harus kita ributkan di malam buta begini, mana hujan, mana dingin. Bukankah begitu…?”

“Ah… tepat sekali saudara….” jawab si pemuda. Werku Alit tersenyum.

Tiba-tiba laksana kilat cepatnya, dua jari tangan kirinya menusuk ke muka menghantam urat besar di bagian kiri tubuh si pemuda. Tak ampun lagi pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian kakinya terjulur lewat atap dan segera diguyur oleh air hujan!

Werku Alit tertawa mengekeh. “Pemuda konyol mau banyak tingkah!”

“Tapi siapa tahu dia bukan pemuda biasa. Raden. Mungkin mata-mata….”

“Ah, tampangnya saja geblek, dogol, bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya sekali totok saja sudah rubuh!”
Kalasrenggi memandang sosok tubuh yang menggeletak menelungkup itu. Dia bermaksud untuk menggeledah pemuda itu namun didengarnya Werku Alit berkata:

“Sudah, tak perlu perdulikan kunyuk itu! Mari kita mulai pembicaraan. Menurut keterangan pembantu rahasiaku, besok siang Rara Murni akan berangkat dengan kereta ke Kalijaga. Tugasmu culik gadis itu, sekap di kuil tua di lembah Limanaluk. Bila sudah beri laporan sama aku biar aku tentukan langkah selanjutnya!”

“Itu tugas mudah, Raden,” kata Kalasrenggi. “Tapi saya ingin tahu siapa-siapa saja yang ikut dengan Rara Murni…?”

“Aku tak mendapat keterangan tentang hal itu. Yang penting kau harus tangkap Rara Murni hidup-hidup. Yang lainnya kalau melawan bereskan saja, habis perkara!”

“Baiklah Raden. Sebelum malam tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang untuk memberitahukan bahwa tugas sudah selesai….”
Werku Alit menepuk bahu kepala pasukan itu. “Nah, aku pergi sekarang!”

Kalasrenggi memperhatikan sampai ketiga orang itu lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam. Kemudian laki-laki ini memutar tubuh dan kembali matanya memandangi manusia yang menelungkup di bawah teratak itu. Dia membungkuk hendak menggeledah, meneruskan niatnya yang tadi batal, tapi kemudian terpikir olehnya, perlu apa susah-susah dengan diri orang lain. Dengan seenaknya Kalasrenggi menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu sehingga tubuh itu terlontar sampai beberapa tombak! Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari teratak tua itu.​

***​
 
Last edited:
SEMBILAN

Hanya beberapa ketika saja Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka orang yang tadi ditotok dan ditendang anehnya tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah kembali ke bawah teratak. Disekanya mukanya yang basah oleh air hujan dan berselomotan lumpur. Diperhatikannya pakaiannya, kotor semua. Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi. “Sialan betul! Sakit juga tendangan kunyuk itu!” makinya seorang diri. “Di lain hari aku akan balas keramah tamahannya tadi!”

Sesungguhnya sewaktu Werku Alit menotoknya tadi, orang ini sudah dapat menduga gerakan dan maksud Werku Alit. Sebelum totokan datang cepat-cepat bagian tubuh di samping kiri dialirkan dengan tenaga dalam. Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat di tubuhnya, taki-laki ini pura-pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga ketika Kalasrenggi menendangnya, dia dalam meneiungkup pura-pura pingsan masih sempat melihat gerakan kaki orang itu dan bersiap menjaga diri sehingga waktu ditendang tubuhnya hanya terasa pegal-pegal sedikit! Dan apa yang telah dibicarakan kedua orang itu dapat didengarnya dengan jelas.

Orang ini duduk bergelung lutut dan berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi? Siapa yang dipanggil dengan sebutan “raden” dan siapa yang satu lagi? Mengapa mereka bicara di tempat terpencil dan di malam hari berudara buruk seperti ini? Dan tugas yang diberikan oleh orang yang dipangglkan “raden” itu? Siapakah Rara Murni? Apakah keduanya bukan gerombolan-gerombolan rampok pengacau? Yang hendak menculik Rara Mumi kemudian melakukan pemerasan terhadap orang tua gadis itu?

Orang itu usut-usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang telah dialaminya tadi. Tapi esok bila hari sudah siang dia bisa mencari keterangan di Kotaraja. Sejak pagi sampai saat itu sudah beberapa jam dia mengelilingi Kotaraja. Berbagai tempat dan pelosok didatanginya. Namun tampang-tampang manusia yang dua orang yang ditemuinya malam tadi tak berhasil dicarinya. Akhimya masuklah dia ke dalam sebuah kedai. Memang saat itu tenggorokannya sudah seperti terbakar oleh rasa haus dan perutnya perih keroncongan. Sambil makan dia terus juga berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin kedua orang yang semalam itu gerombolan-gerombolan rampok. Seorang rampok tak akan dipanggil “raden”. Pasti yang dipanggil “raden” itu seorang bangsawan kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya mau menculik gadis orang? Mungkin pernah melamar tapi tak diterima? Dia menyudahi makanannya. Ketika dia memandang berkeliling ternyata kedai itu sudah penuh dengan tamu-tamu yang makan siang. Dengan perut kenyang dia kemudian melangkah mendekati pemilik kedai. Ditanyakannya berapa jumlah yang harus dibayarkannya lalu diberikannya sejumiah uang. “lni kembalinya, Nak,” kata orang kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah putih semua.
“Ah, tak usah. Ambil saja….” kata pemuda. Si orang tua jadi keheranan. Demikian juga beberapa orang yang duduk di dekat sana.

Pemuda yang berambut gondrong, berpakaian lusuh serta bertampang keren tapi macam anakanak itu berlagak seperti seorang kaya raya yang punya banyak uang, sok tak mau terima uang kembalian! Tapi perhatian orang hanya sebentar tertuju kepada si pemuda. Masing-masing kemudian sibuk mengurusi mulut dan perutnya sendiri. Si pemuda mendekati pemilik kedai dan berkata pelahan: “Uang yang kulebihkan itu untuk membayar beberapa keterangan darimu, Bapak,” katanya. “Keterangan?” Si orang tua kerenyitkan kening. “Keterangan apa…?” “Bapak sudah lama tinggal di Kotaraja ini?”

“Dari masih orok sampai punya buyut!” jawab pemilik kedai pula. Hatinya masih bertanya-tanya dan heran. “Kenapa anak tanya begitu?”

“Oh tak apa-apa…. Mungkin bapak kenal dengan seorang perempuan bernama Rara Murni?” Pertanyaan ini membuat si orang tua lebih heran.

“Semua orang di Pakuan ini tahu siapa Rara Murni,” katanya.

“Oh pantas.. pantas… Rara Murni yang kau tanyakan itu adalah adik Sang Prabu Kamandaka!” Tentu saja si pemuda mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka kalau Rara Murni adik dari raja Pajajaran?! Namun dengan pandainya dia menyembunyikan kekagetannya itu. Kemudian terdengar suara orang kedai bertanya. “Anak muda, ada maksud apakah kau bertanyakan adik Sang Prabu itu…?”

“Oh tidak apa-apa. Tidak apa-apa….”

“Kalau kau bermaksud buruk ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali hulubalang-hulubalang
Sang Prabu yang bertelinga tajam!”

Si pemuda sunggingkan senyum. “Kau terlalu bercuriga terhadapku, orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa yang
mendengar kabar disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah seorang yang cantik jelita. Biasa bukan laki-laki tanya perempuan…?” Pemuda ini kemudian tertawa geli. Namun tawa gelinya itu diputuskan oleh suara bentakan dari arah pintu.

“Manusia yang berani bicara seenaknya tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh! Aku mau lihat tampangnya!”

Suara itu keras dan garang. Si pemuda melihat bagaimana orang tua di hadapannya menjadi gemetar ketakutan. “Aku
sudah bilang apa… aku sudah bilang apa…” katanya berulang kali. Pemuda itu dengan perlahan memutar tubuh. Di pintu dilihatnya berdiri seorang prajurit berhadapan tegap bersenjata tombak.

“Bagus! Tampangmu memang mirip kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi kerangkeng istana!” Prajurit ini melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi muncul di ambang pintu. “Tangkap pemuda rambut gondrong itu! Dia telah menghina adik Sang Prabu!” Dengan tombak terhunus kedua prajurit itu melangkah ke hadapan pemuda rambut gondrong.

“Sebentar saudara… sebentar!” kata si pemuda sambil pentangkan kedua telapak tangannya ke muka. Selarik sinar halus berhembus ke arah jalan darah kedua prajurit itu. Dan semua mata dalam kedai yang tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa kedua prajurit itu hentikan langkah karena memenuhi permintaan si pemuda. Padahal dua prajurit itu sudah kena ditotok dari jarak jauh dan berdiri kaku tak bisa bergerak tak bisa bicara! “Sebentar, aku mau bicara dulu!” kata pemuda rambut gondrong kini pada prajurit yang di pintu.

“Bicara apa?! Lekas? Katakan!”

Seekor lalat terbang dan hinggap di lengan kiri si rambut gondrong. “Ah lalat ini! Mengganggu aku yang hendak bicara!” kata si rambut gondrong. Dengan jari-jari tangan kanannya disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya bukan binatang itu. Sang lalat memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi angin sentilan terus menotok jalan darah prajurit yang berdiri di pintu kedai. Orang-orang tetap melihat dia berdiri sebagaimana biasa tapi sesungguhnya tubuhnya sudah kaku tegang!

Si rambut gondrong datang ke hadapannya, pura-pura membisikkan sesuatu lalu menepuk bahu prajurit itu dan berlalu. Orang-orang mulai menjadi heran. Dan beberapa ketika saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap tiba-tiba: “Bluk… bluk… b!uk…. !” Ketiga prajurit itu rebah ke tanah susul menyusul! Begitu mencium lantai begitu mereka kembali sadarkan diri!

Kedai itu menjadi hiruk pikuk. Tiga prajurit dengan rasa malu, geram dan amarah meluap memburu ke luar kedai tapi si rambut gondrong sudah lama lenyap! Tiga prajurit ini tiada lain adalah anak buah Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut gondrong mengeliling Kotaraja mencari dua manusia yang ditemuinya malam tadi di teratak tua di luar tembok kerajaan maka tanpa setahunya sepasang mata telah menguntitnya. Yang menguntit tiada lain dari Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong masuk kedai maka dikirimnya tiga orang prajurit ke sana. Diperintahkannya untuk menangkap pemuda itu dengan alasan yang dibuat-buat. Bila sudah ditangkap, maka pengusutan lebih lanjut siapa adanya pemuda ini akan dilakukan Kalasrenggi sesudahnya dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit. Ketika mereka masuk dengan diam-diam mereka telah mencuri dengar apa yang dipercakapkan si rambut gondrong dengan orang kedai. lni mereka jadikan alasan untuk menangkap pemuda itu. Namun karena tiga prajurit ini hanyalah mengandalkan tenaga-tenaga lahir yang kasar, tak mempunyai ilmu dalam maka dengan mudah si rambut gondrong “mempermainkannya!”​

***​
 
Last edited:
SEPULUH

“Kalau Rara Murni adalah adiknya Raja Pajajaran…” kata pemuda itu sambil terus juga menyusuri jalan di bawah panas teriknya matahari musim kemarau, “Pasti peristiwa penculikannya mempunyai latar belakang yang besar dan buntut panjang!” Dia menengadah ke langit. “Ah, cepat benar bergesernya matahari….” katanya lagi. Dan ketika dia berpapasan dengan seorang penjual sayur mayur maka bertanyalah dia, “Bapak, manakah jalan yang menuju ke lembah Limanaluk?”

Penjual sayur mayur itu menyeka peluh di keningnya terlebih dahulu. Diputarnya badannya sedikit dan dia menunjuk ke ujung jalan. “Ikuti saja terus jalan ini, jangan mengkol. Limanaluk sekira setengah hari perjalanan dari sini.”

Pemuda yang bertanya mengucapkan terima kasih lalu metanjutkan perjalanannya Kembali….

Kereta itu bagus dan mungil potongannya. Dua ekor kuda coklat yang menariknya berlari kencang. Empat prajurit terpercaya mengawal kereta ini. Dua orang di depan, dua lainnya di belakang. Debu menggebubu sepanjang jalan yang mereka lalui. Setelah dua jam perjalanan meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh mulai banyak lobang- lobang dan batu-batunya. Kusir memperlambat jalan kereta terutama ketika melewati satu pengkolan tajam. selewatnya sebuah penurunan jalan yang mereka lalui baik kembali dan menyusuri tepi sebuah kali kecil berair jernih.

Prajurit di depan sebelah kanan melambaikan tangan memberi tanda berhenti. Ketika kereta itu berhenti maka tersibaklah tirai jendela dan sebuah kepala berparas jelita remaja munculkan diri ke luar.

“Ada apa berhenti?” Suara gadis ini bertanya begitu merdu. Kepala pengawal menjura sedikit dan menjawab: “Kuda-kuda kita perlu diberi minum, Tuan Puteri…”

Rara Murni menutupkan tirai jendela kembali. Kusir turun dari kereta dan membawa kedua ekor kuda coklat ke tepi kali. Enam ekor binatang itu kemudian seperti berebutan memasukkan mulutnya ke datam air kali yang bening sejuk. Beberapa ketika berlalu maka rombongan bersiap-siap untuk melanjutkan kembati. Namun belum lagi kusir naik ke atas kereta empat orang penunggang kuda muncul di tempat itu. Badan tegap-tegap dan muka mereka tak dapat dikenali karena kepala masing-masing tertutup dengan kerudung kain hitam yang dilubangi di bagian matanya.

“Perjalanan kalian hanya sampai di sini!” kata penunggang kuda paling depan. Suaranya berat dan parau, disertai dengan tenaga dalam sehingga tak mungkin untuk mengenali suaranya yang asli. Empat pengawal kereta yang tahu bahwa manusia-manusia berkerudung kain hitam itu datang bukan dengan membawa maksud baik segera cabut pedang! Melihat ini orang yang tadi bicara tertawa mengekeh.

“Kalian kunyuk-kunyuk Pajajaran kalau masih ingin selamatkan batang leher segeralah tinggalkan tempat ini!”

“Bangsat rendah! Berani menghina prajurit kerajaan! Terima pedangku!” bentak kepala pengawal. Dia melompat ke muka dan pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa sinar matahari! Manusia berkerudung sentakkan tali kekang kuda dan miringkan badan. Berbarengan dengan itu kaki kanannya meluncur dengan sangat cepat. Kepala pengawal kereta terpekik. Pedangnya lepas dan mental sedang sambungan sikunya yang dimakan tendangan tanggal dari persendian! Dia mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk sambil memegangi sambungan sikunya yang copot!

Tiga pengawa! yang lain tanpa banyak bicara segera menyerbu dan disambuti oleh tiga laki-laki lainnya yang memakai kerudung. Setelah terlibat dalam dua jurus pertempuran maka terdesaklah ketiga pengawal kereta. Sementara itu di dalam kereta, mendengar suara ribut-ribut dan disusul dengan suara beradunya senjata dengan hati cemas Rara Mumi singkapkan tirai jendela. Dia terkejut sekali melihat ada sesosok tubuh berkerudung melangkah mendekati kereta. dan mengulurkan tangan untuk membuka pintu kereta!

“Rara Murni… kau tak usah cemas! Apa yang terjadi di,sini hanya pertunjukan biasa saja. Silahkan turun…!”

“Kalian siapa…?!”

“Siapa kami itu tidak penting. Turunlah….”

“Rampok-rampok biadab! Kalau kalian tahu siapa aku segeralah tinggalkan tempat ini sebelum pasukan kerajaan datang menumpas kalian!”

Laki-laki berkerudung tertawa bergelak. Dibukanya pintu kereta dan diulurkannya tangan kanan untuk menarik Rara Murni keluar dari kereta.

Kusir kereta yang sejak tadi seperti terpukau melihat pertempuran yang berkecamuk di depan matanya, ketika mengetahui bahwa Rara Murni hendak diperlakukan secara kasar segera mengambil cambuk kereta dan menderu punggung laki-laki berkerudung.

“Rampok laknat! Berani mengganggu adik Sang Prabu!” Dan cambuk itu mendera lagi beberapa kali.

Laki-laki berkerudung memutar tubuh. Sekali dia gerakkan tangan maka berhasillah dia merampas cambuk itu. Dan kini cambuk itu dipakainya untuk melecuti muka kusir kereta. Kusir ini menjerit-jerit. Kemudian dengan kalap mencabut golok pendeknya dan menyerang si muka berkerudung. Namun hanya dengan mengelak dan sekali tendang saja maka kusir kereta itu terpelanting ke tebing kali, masuk ke dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air, tenggelam timbul karena sebelum jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah membuatnya pingsan terlebih dulu!

Pertempuran antara tiga prajurit pengawal dan tiga laki-laki berkerudung lainnya tak berjalan lama. Ketiga pengawal itu menggeletak di tanah bermandikan darah. Sementara itu di atas kereta Rara Murni berusaha melawan dan meronta-ronta, menerjang dan meninju laki-laki yang hendak menyeretnya turun secara paksa. Namun apalah kekuatan seorang perempuan. Dalam waktu sebentar saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya. Rara Murni dinaikkan
ke atas kuda.

“Lemparkan ketiga mayat itu ke dalam kali!” perintah laki-laki berkerudung yang sudah naik ke atas punggung kudanya. “Juga kereta itu!” Tiga mayat pengawal dilemparkan ke dalam kali. Kuda penarik kereta melonjak-lonjak dan meringkik keras ketika tiga manusia berkerudung itu mendorong kereta ke dalam kali!

Dalam waktu yang singkat keempat orang itu segera berlalu. Yang tinggal kini di tempat itu hanya bekas-bekas pertempuran, darah, mayat, kereta dan kuda yang masih terus meringkik-ringkik sementara tubuhnya dengan perlahan tapi pasti tenggelam ke dalam kali!
***​

SEBELAS

Lembah Limanaluk satu daerah yang jarang didatangi manusia. Daerah ini sunyi sepi, ditumbuhi pohon-pohon raksasa dan semak belukar lebat. Ke sinilah keempat manusia berkerudung itu membawa Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka berhenti dan menurunkan gadis itu yang sampai saat itu masih terus juga melawan dengan segala daya yang ada.

“Rara Murni, kalau kau tak banyak cingcong aku tak akan perlakukan kau dengan kekerasan…”

“Lepaskan aku!” teriak Rara Murni.

“Masuklah ke dalam kuil sana!”

“Tidak!” dan Rara Murni berusaha hendak lari namun tangannya segera kena dicekat. Laki-laki berkerudung yang bertindak sebagai pemimpin tiga orang lainnya berpaling, lalu katanya pada ketiga orang itu: “Kalian kembalilah. Beritahukan bahwa tugas kita berhasil baik!”

Tiga laki-laki berkerudung segera lompat kembali ke atas punggung kuda masing-masing dan meninggalkan tempat itu. Yang seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam kuil. Kuil itu sebuah kuil tua yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah pada luruh dimakan umur. Sebuah arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian mukanya rusak dan tangan serta kakinya sudah buntung.

“Lepaskan aku dari sini!” teriak Rara Murni untuk kesekian kalinya. Suaranya mulai parau.

“Kau terlalu banyak cerewet, Rara Murni.” kata laki-laki berkerudung. Kedua bola matanya berkilat-kilat memandangi paras dan tubuh gadis itu.

“Tapi…” kata orang ini kemudian, “Kau mungkin tak akan banyak ulah bila mengetahui siapa aku.”

Habis berkata begitu laki-laki ini membuka kerudung penutup mukanya. Kaget Rara Murni bukan kepalang. Seperti tak percaya dia akan pandangan kedua matanya. Betapakah tidak! Laki-laki berkerudung itu ternyata adalah salah seorang kepala pasukan kerajaan yang cukup dikenalnya.

“Kalasrenggi!”

Kalasrenggi tertawa mengekeh. “Kau sudah lihat mukaku dan tahu siapa aku. Apa kau juga masih mau cerewet?”

“Apa maksudmu dengan semua ini, Kalasrenggi?!’,

“Apa maksudku? Kau akan lihat saja nanti!”

“Pengkhianat! Pengkhianat terkutuk kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya kalua kakakku mengetahui perbuatanmu ini?!”

“Kakakmu tak akan pernah mengetahuinya!”

“Aku akan adukan dan kau akan dibuang ke pulau Neraka! Tempat pengkhianat-pengkhianat kerajaan!”

Kalasrenggi tertawa lagi. Matanya semakin berkilat-kilat memandangi paras Rara Murni. Memang sesungguhnya sudah sejak lama laki-laki ini secara diam-diam merasa tertarik dan jatuh hati terhadap Rara Murni. Kini berada berdua-dua di tempat sunyi itu, hasrat yang terpendam itu menjadi berkobar-kobar memanasi darah dan tubuhnya.

“Mungkin kau tak akan pernah punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni. Kepalamu cukup bagus untuk jadi benda persembahan kepada kakakmu sendiri!”

Rara Murni terkejut. “Apa maksudmu?”

Kalasrenggi tertawa. Tawa yang menjijikkan Rara Murni. Katanya: “Kalau kau mau menuruti apa yang aku katakan, mungkin aku masih bisa menyelamatkan kau dari kematian….”

“Kau benar-benar pengkhianat terkutuk! Terkutuk!”

Masih dengan tertawa yang menjijikkan itu Kalasrenggi melangkah maju mendekati Rara Murni. Matanya berkilat-kilat, cuping hidung kembang kempis dan dadanya bergejoiak. Melihat ini Rara Murni segera melangkah mundur. Mundur sampai punggungnya membentur dinding kuil. Sebelum dia sempat lari ke pintu jari-jari tangan Kalasrenggi yang besar-besar dan panas digelorai nafsu telah mencekal lengannya.

“Kenapa musti takut…?” ujar laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas menghembushembus ke muka Rara Murni.

“Keparat! Lepaskan tanganku! Lepaskan!” teriak Rara Murni.

Tiba-tiba Kalasrenggi menyentakkan tangan itu. Rara Murni tenggelam ke dalam pelukannya yang beringas dan ganas. Ciumannya bertubi-tubi di paras jelita gadis itu. Rara Murni memekik. Meronta dan memekik! Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil oleh Kalasrenggi, membuatnya hampir tak bisa meronta dan menghindarkan kepalanya dan ciuman-ciuman laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa berbuat sesuatu apa ketika Kalasrenggi dengan beringasnya menarik kain yang menutupi dadanya!

Rara Murni memekik lagi ketika badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua kakinya dilejang-lejangkannya. Namun lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang dipakainya menjadi turun sampai ke paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang sudah menggejolak dalam diri Kalasrenggi jadi mengamuk dengan dahsyat.

Rara Mumi menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa jeritan itu tak ada artinya bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu bahwa dia dalam keadaan begitu rupa tak akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan kehormatannya!

Dalam nafsu yang mengamuk itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar di atas punggungnya. Belum lagi dia sempat palingkan kepala untuk melihat benda apa yang menyambar itu maka terdengarlah suara bergedebukan di lantai kuil! Dan sesaat bila Kalasrenggi memalingkan kepala maka terkejutlah dia, terkejut seperti melihat setan berkepala tujuh! Tiga sosok tubuh bergeletakkan di lantai kuil! Bukan saja tiga sosok tubuh yang bergeletakkan itu yang mengejutkan Kalasrenggi tapi terlebih lagi ialah ketika mengenali bahwa ketiga manusia ini adalah anak buahnya sendiri, yang tadi disuruhnya kembali ke Kotaraja untuk memberikan laporan pada Raden Werku Alit bahwa tugas penculikan atas diri Rara Mutni telah dilaksanakan.

Nafsu yang membara di tubuh Kalasrenggi dengan serta merta mengendur dan lenyap sama sekali. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri dan meninggalkan Rara Murni yang tadi hamper saja menjadi mangsa kebejatannya. Ketika diperhatikannya ketiga anak buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi alias sudah menjadi mayat! Muka-muka mereka membiru sedang pada kening masing-masing dilihatnya tiga deretan angka-angka 212. Muka yang biru itu diketahuinya adalah akibat pukulan atau tamparan yang ampuh sekali. Tapi adanya angka-angka 212 pada kening ketiga orang ini adalah tidak dimengerti sama sekali oleh Kalasrenggi!

Pada saat dirinya dilepaskan oleh Kalasrenggi maka pada saat itu pula dengan serta merta Rara Murni bangkit berdiri dan hendak lari ke pintu kuil. Namun baru tiga langkah kedua kakinya bergerak, gadis ini hentikan langkah, darahnya tersirap dan mukanya memucat. Pada pintu kuil sesosok tubuh yang memakai kerudung hitam berdiri dengan bertolak pinggang. Tak bisa tidak pastilah manusia ini anak buah Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni…

Kalasrenggi sendiri ketika melihat bayangan seseorang di pintu kuil cepat menoleh dan kembali mukanya dilanda rasa terkejut! Dia tidak kenal dengan manusia berkerudung di pintu itu, tapi dia pasti betul bahwa laki-laki ini bukanlah orangnya, tapi kerudung hitam yang dikenakannya adalah kerudung salah seorang anak buahnya yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh itu! Bukan tidak mustahil manusia ini pulalah yang telah menamatkan riwayat tiga anak buahnya itu!

Meski amarahnya tidak terkirakan namun Kalasrenggi tidak mau bertindak gegabah. Sepasang matanya memandang tajam-tajam seperti mau menembus kerudung yang menutupi kepala sosok tubuh manusia yang berdiri di pintu kuil itu! “Tamu tak diundang, silahkan buka kerudung!” kata Kalasrenggi.

Orang yang di pintu menyeringai di balik kerudung hitamnya. Lalu terdengarlah suara tertawanya, mula-mula mengekeh perlahan, tapi kemudian menjadi tawa bergelak yang menggetarkan gendang-gendang telinga serta menggetarkan dinding-dinding kuil tua itu!
Kalasrenggi bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan berlaku waspada. Kalau suara tertawa manusia ini dapat menggetarkan gendang-gendang telinga bahkan menggetarkan dinding kuil, maka ini suatu pertanda bahwa siapa pun adanya manusia ini, dia bukanlah orang sembarangan! Dan semakin yakin Kalasrenggi bahwa orang inilah yang telah menewaskan ketiga anak buahnya.

Akan Rara Murni, kalau tadi hatinya kecut dan takut melihat munculnya manusia berkerudung ini, maka setelah mengetahui bahwa dia bukanlah di pihaknya Kalasrenggi, diam-diam Rara Murni menjadi sedikit lega hatinya. Tapi dia tak tahu apakah manusia yang baru datang ini adalah tuan penolongnya ataukah seseorang yang lebih bejat dan terkutuk dari Kalasrenggi! Dalam pada itu dia sendiri masih belum dapat melihat tampang orang ini.

Hati Kalasrenggi serasa dibakar karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa macam begitu oleh si kerudung hitam. Maka berkatalah dia dengan menunjukkan nyali besar: “Kalau kau tak mau buka kerudung, terpaksa aku turun tangan….”
Orang berkerudung hentikan tertawanya. Dan dia buka mulut menyahuti: “Diri manusia tidak diukur dari tampangnya, tapi dari hatinya! Bila dia seorang prajurit, maka kejujuran hati, kesetiaan dan baktinya pada kerajaanlah yang menjadi ukuran!”
Merah paras Kalasrenggi mendengar kata-kata ini.
Si kerudung hitam tertawa bergumam dan berpaling pada Rara Murni dan berkata: “Bukan begitu Tuan Puteri Rara Murni…?”
Rara Mumi tak menyahuti. Tapi dia menjadi terkejut karena tak menyangka kalau laki-laki itu tahu namanya. Dan beratlah dugaannya bahwa laki-lakl ini adalah orang dalam juga. Orang kerajaan juga, entah pengkhianat entah seorang penolong. Tapi kalau dia bermaksud menolong, mengapa musti pakai kerudung hitam segala?

“Tapi…” kata laki-laki yang di pintu pula melanjutkan bicaranya, “Kalau kau memang kepingin melihat tampangku, baiklah! Aku tak keberatan untuk membuka kerudung hitam ini. Tampangku memang buruk. Namun jika dibandingkan dengan tampangmu, masih mendingan aku ke mana-mana!” Sambil tertawa-tawa laki-laki ini membuka kerudung hitam yang menutupi kepalanya.
***​
 
Last edited:
DUA BELAS

Bila Rara Murni memandang ke muka maka di balik kerudung yang telah dibuka itu ternyata laki-iaki yang berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong. Meski tertawanya tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya yang gagah itu condong kepada paras anak-anak. Sebaliknya begitu menyaksikan tampang manusia di depannya, kedua mata Kalasrenggi menyipit, kulit mukanya mengerenyit. Otaknya berputar dengan cepat, mengingat-ingat di mana dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka menggeramlah Kalasrenggi. Pemuda yang ada di hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda yang malam tadi telah berteduh di teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan lebat dan sewaktu dia tengah bicara dengan Werku Alit! Juga pemuda inilah yang kemudian ditotok Werku Alit! Dan dia sendiri menghadiahkan satu tendangan!

“Ingat siapa aku…?”

“Saudara, apa urusanmu dalam hal ini?!” bentak Kalasrenggi garang. Tangan kirinya menyelinap ke balik pinggang di mana tersisip sebilah keris.

“Ah… tentu ada saja, Saudara. Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan padaku malam tadi. Enak juga tendangan itu. He,.. he… he…. Lalu, aku tidak begitu suka pada manusia-manusia yang bersifat ular kepala dua, pengkhianat besar serta tukang rusak kehormatan perempuan…. Apa itu kurang cukup untuk bikin urusan denganmu?!”

“Hem….” Kalasrenggi menggumam. “Jadi hari ini aku berhadapan dengan seorang pendekar budiman huh?! Satu hal yang menyenangkan sekali!” Habis berkata begini Kalasrenggi keluarkan suara berdengus dari hidungnya. “Terangkan dulu siapa kau punya nama!” katanya kemudian.

“Ah, kau keliwat ramah tanya-tanya segala nama. Namaku sudah kutuliskan pada kening ketiga anak buahmu!” jawab si pemuda pula.

Kalasrenggi tertawa mengejek. “Baru kali ini aku bertemu manusia yang namanya adalah tiga buah angka. Angka-angka gila!”

Si pemuda tertawa. “Angka-angka itu mungkin gila! Tapi tidak segila pengkhianat macam kau Kalasrenggi!”

“Kau sudah tahu namaku. Kenapa tidak lekas kabur tinggalkan tempat ini?!”

“Apa kabur dari sini? L.alu kau teruskan maksud busukmu terhadap Tuan Puteri Rara Murni? Aku tidak sebodoh dan sepengecut yang kau sangka, Kalasrenggi!”

“Kalau betul kau punya nyali, tahan ini!” bentak Kalasrenggi garang. Dengan satu lompatan cepat Kalasrenggi lancarkan serangan tangan kosong. Tapi serangan yang hebat ini dapat dielakkan lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul dan tertawa-tawa.

“Kalasrenggi, kalau mau baku jotos jangan di dalam sini, mari keluar!” kata si pemuda rambut gondrong atau pendekar 212 Wiro Sableng.

Sengaja dia berkata begitu karena khawatir dalam pertempuran nanti Rara Murni yang juga berada di ruangan itu akan mendapat celaka.

“Tak usah banyak mulut! Kau harus mampus disaksikan ketiga mayat anak buahku!” bentak Kalasrenggi pula. Untuk kedua kalinya kepala pasukan Pajajaran yang berkhianat ini menyerang, lebih hebat dari tadi. Tiba-tiba orang yang diserangnya lenyap dari hadapannya. Kemudian di belakangnya terdengar suara siulan.

“Aku di sini Kalasrenggi, mengapa menyerang tempat kosong?!”

Kalasrenggi kertakkan rahang. Dia berbalik dengan cepat dan menyerang lebih ganas. Tangannya bergerak cepat, tendangan kaki bertubi-tubi. Keseluruhannya mengeluarkan angina yang keras dan bersiuran. Agaknya permainan silat tangan kosong Kalasrenggi tidak dari tingkat rendahan. Dari angin pukulan dan tendangannya Wiro sudah dapat menjajaki kehebatan lawan. Karena tak mau ambil resiko pemuda ini segera bergerak cepat. Dalam waktu yang singkat tiga jurus berlalu sebat. Pada saat memasuki jurus keempat Wiro Sableng melihat Rara Murni melarikan diri keluar kuil.

Sambil rundukkan kepala mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro Sableng berseru: “Rara, tunggu! Jangan pergi dulu!”

Tapi mana si gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan kainnya ke atas Rara Murni mempercepat larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan pukulan tangan kanan ke arah kedua kaki gadis itu. Serangkum angin melesat deras dan dingin. Rara Murni merasa kedua kakinya seperti disiram air es, kemudian kedua kakinya itu kaku tak bisa lagi digerakkan. Larinya dengan serta merta terhenti.

Melihat lawan melakukan dua gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalasrenggi untuk membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan tinju kiri kanan menyerang susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro Sableng!

Namun dengan membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan lawan dapat dikelit oleh pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu lagi dengan satu serangan berantai. Kali ini, pada saat tangan kanan Kalasrenggi memukul ke muka, pendekar 212 sengaja menyongsong datangnya lengan lawan. Maka beradulah lengan dengan lengan!

Kalasrenggi terpekik. Tubuhnya terpelanting ke belakang sampai punggungnya menghantam dinding kuil. Lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan kelihatan biru dan bengkak besar. Sakitnya bukan alang kepalang! Karena tadi Wiro Sableng melayaninya seperti acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga kalau kehebatan lawan demikian lihainya. Sesudah mengurut lengannya yang bengkak biru serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian yang terpukul itu maka kemudian Kalasrenggi dengan tangan kirinya mencabut sebilah keris dari balik pinggang. Senjata ini sebuah senjata pusaka juga rupanya karena memancarkan sinar membiru. Tanpa banyak bicara kepala pasukan Pajajaran itu segera lancarkan serangan dahsyat. Kalasrenggi memang seorang kidal dan permainan kerisnya juga sudah mencapai tingkat yang matang. Apalagi dengan mempergunakan tangan kiri itu maka serangan-serangannya sukar diduga.

Namun demikian pendekar 212 sudah punya rencana sendiri terhadap manusia kepala dua ini! Dibiarkan dan dielakkannya saja untuk beberapa lamanya serangan-serangan keris Kalasrenggi. Kepala pasukan pengkhianat ini semakin gemas dan geram. Dipercepatnya gerakannya namun tetap saja tiada mencapai hasil yang dikehendakinya. “Pegang senjatamu erat-erat, Kalasrenggi.” kata pendekar 212 memberi ingat.

Kalasrenggi masih belum mengerti apa maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia sama sekali tidak dapat melihat dengan jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng. Tahu-tahu saja dirasakannya keris pusakanya terlepas dari tangan. Laki-laki ini mengeluarkan seruan tertahan. Memandang dengan tak percaya pada tangan kirinya yang kosong!

Wiro Sableng tertawa mengekeh dan melompat ke muka. Tangan kanannya terkembang seperti hendak mencengkeram muka Kalasrenggi. Yang diserang cepat merunduk dan berusaha menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi kali ini Kalasrenggi tertipu. Tangan yang menyerang dan hendak mencengkeram itu hanya gerakan palsu belaka. Tanpa dapat dikelit lagi oleh Kalasrenggi maka dua ujung jari tangan kanan Wiro Sableng meluncur ke rusuk kirinya. Mendadak sontak detik itu juga tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan kakinya tak
bisa digerakkan lagi, tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa mendengar, demikian juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa. Pendekar 212 sengaja menotok laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan rencananya.

Sambil tertawa-tawa dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong Wiro Sableng memandangi Kalasrenggi beberapa lamanya. Kemudian pendekar muda ini melangkah mendapatkan Rara Murni. Dilepaskannya totokan yang telah memakukan kedua kaki gadis itu.
Rara Murni begitu merasa kakinya bebas segera hendak lari namun tangannya cepat dipegang oleh Wiro Sableng.

“Lepaskan tanganku!” teriak Rara Murni.

“Terhadapku tak usah takut, Rara Murni.” Kata pendekar 212 pula.

“Kau siapa?!” tanya Rara Murni dan berusaha melepaskan tangannya yang dipegang.

“Siapa aku itu soal nanti. Tapi apakah kau akan tinggalkan begitu saja Kalasrenggi tanpa memberikan satu hukuman yang setimpal terhadapnya?!”

“Aku akan laporkan kejahatannya terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan menyeretnya ke Pakuan! Dia pasti akan dibuang ke pulau Neraka!“

Pendekar 212 tersenyum. “Kuil ini juga bisa menjadi tempat neraka baginya, Rara Murni. Mari, aku akan tunjukkan cara yang bagus untuk menghukum pengkhianat dan manusia bejat macam dia!” Dengan seutas tali pendekar 212 mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi.

Kalasrenggi yang saat itu meski tubuhnya kaku tapi masih bisa merasa, melihat dan bicara: “Keparat! Kau mau buat apa terhadapku?!”

“Ah, kau masih bilang keparat, Saudara…” jawab pendekar 212 dengan tertawa. “Pernahkah kau melihat dunia terbalik?! Melihat dengan kaki ke atas kepala ke bawah?!”

“Apa maksudmu?!” bentak Kalasrenggi. Tapi dalam hatinya dia sudah dapat menduga apa yang bakal dilakukan oleh Wiro Sableng dan tubuhnya mengucurkan keringat dingin.

“Apa maksudku kita akan saksikan sama-sama, Kalasrenggi,” kata Wiro Sableng pula.

Sekali saja tali yang mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya maka terbantinglah laki-laki itu ke lantai kuil. Kutuk serapah dan keluh kesakitan bersemburan dari mulut Kalasrenggi.

“Sudahlah, jangan memaki-maki juga, tak ada gunanya,” kata pendekar 212. Dia memandang ke atas atap kuil dan dilihatnya sebuah tiang yang membentang memalang di bawah atap. Ujung tali yang dipegangnya dilemparkannya ke atas. Bila ujung tali itu menjuntai ke bawah kembali setelah terlebih dahulu menyangkut di tiang palang maka pendekar 212 mulai mengerek badan Kalasrenggi.

Gelap dunia ini bagi Kalasrenggi. Dalam tempo yang singkat mukanya menjadi sangat merah karena darah -yang mengalir turun memberati mukanya. Laki-laki ini coba meronta, tapi tubuhnya kaku tak bergerak, hanya terbuai-buai saja macam karung diisi pasir dan digantung! Yang bisa dilakukan Kalasrenggi hanya memaki dan memaki tiada habisnya dia menjadi letih sendiri.

Pendekar 212 tertawa mengekeh macam kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni sebentar lalu bertanya pada Kalasrenggi: “Bagaimana, indahkah dunia ini bila dilihat terbalik…?”

“Demi setan bila bebas aku bersumpah untuk mencincang tubuhmu keparat…!” hardik Kalasrenggi.

“Sumpahmu terlalu hebat Kalasrenggi. Tapi bisakah kau membebaskan dirimu dari jari-jari tanganku ini…?” Dengan senyum-senyum Wiro Sableng melangkah mendekati Kalasrenggi.

Kemudian sepuluh jari-jari tangannya menggerayang menggelitiki tulang rusuk Kalasrenggi! Laki-laki ini menjerit, melolong setinggi langit sampai suaranya menjadi serak!

Wiro Sableng tertawa senang. Rara Murni sendiri hampir-hampir tak dapat menahan gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga berteriak, menjerit, melolong dan memekik dengan suaranya yang serak parau itu!

“Rara Murni, ayo mengapa diam saja? Kalau kau ingin membalaskan sakit hatimu terhadapnya, inilah saatnya,” kata Wiro Sableng pula. Meski amarahnya memang masih meluap terhadap Kalasrenggi namun berada lebih lama di situ menimbulkan kekhawatiran bagi Rara Murni. Gadis ini walau bagaimanapun tak dapat memastikan manusia yang bagaimana adanya pemuda rambut gondrong itu, meskipun dianya telah menolong dan menyelamatkan diri serta kehormatannya. Karenanya tanpa banyak bicara menyahuti ucapan Wiro Sableng tadi, juga tanpa membuang waktu, Rara Murni segera lari meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk menahan Rara
Murni, diikutinya saja gadis itu dengan pandangan mata.

“Gadis tolol!” gerendeng pendekar 212 dalam hati. “Dikiranya Kotaraja dekat dari sini!” Kemudian ketika Rara Murni lenyap di balik kelebatan pohonpohon di lembah Limanaluk itu maka pendekar 212 segera angkat kaki pula, menyusul dengan diam-diam dari belakang….
***​

TIGA BELAS

Begitu keluar dari lembah Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah berlari itu. Sebelumnya jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah dilakukannya! Dia berhenti dan berdiri bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat itulah baru disadarinya keadaan pakaiannya yang tidak menutupi badannya, terutama letak kain di bagian dadanya. Segera dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya pula rambutnya. Dia menunggu sampai nafasnya yang memburu dan dadanya yang sesak pulih seperti sedia kala. Saat itu kedua kakinya pun terasa sakit. Rara Murni merasa bahwa dia tidak sendirian di tempat itu. Dipalingkannya kepalanya. Darahnya tersirap karena begitu kepalanya diputar maka kedua matanya membentur sesosok tubuh yang berada dekat sekali di sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda rambut gondrong yang di kuil tua tadi!

“Letih?” tanya Wiro Sableng dengan senyum-senyum.
Rara Murni tak menjawab.

“Kotaraja tidak dekat dari sini, Rara…”

“Aku tahu…”

“Lalu, mengapa lari-lari macam begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi takut? Rambutku yang gondrong ini barangkali ya?”

“Saudara, kau ini siapa sebenarnya?”

“Aku? Aku ya aku…” jawab Wiro pula.

“Kalau kau hendak bermaksud jahat pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini juga!”

“Ah… tampangku memang jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara Murni. Aku hanya tak ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja! Mungkin seperempat jalan kau sudah mengeletak pingsan!”

Rara Murni terdiam. Tapi kemudian dia berkata: “Walau bagaimanapun aku musti kembali ke Kotaraja selekas mungkin…”

“Itu memang betul. Tapi bukan dengan lari caranya. Mari ikut aku…”

“Ikut ke mana?”

“Dengar Rara, kau tak perlu terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana ada beberapa ekor kuda. Kau bisa naik kuda?” Gadis itu menggeleng.

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. “Kalau begitu…” katanya, “Kau terpaksa naik kuda bersama-samaku!”

Maka merahlah paras Rara Mumi. “Jangan bicara seenak perutmu, saudara!” bentak gadis ini.

“Heh… aku toh tidak bicara usil. Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri bagaimana?”

“Aku lebih baik jalan kaki!” sahut Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa. “Dengar Rara Murni, aku mempunyai firasat bahwa peristiwa penculikanmu ada ekornya. Ekor yang panjang dan besar. Kalau Kalasrenggi berkhianat terhadap Sang Prabu, terhadap kerajaan Pajajaran, bahkan bukan hanya sekedar berkhianat tapi juga hendak bikin celaka terhadap kau, maka tidak mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi kerajaan lainnya yang turut terlibat dalam pengkhianatan ini…”

Ucapan Pendekar 212 itu memang terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi menunggang kuda bersama pemuda itu, tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan kata orang bila melihat hal itu nanti? Kemudian didengarnya pula oleh gadis ini suara Wiro Sableng kembali:

“Makin cepat kau sampai ke Kotaraja semakin baik…”

Rara Murni termenung sejurus. Tapi hatinya tetap keras tak mau naik kuda bersama pemuda itu. Tanpa banyak bicara gadis ini kemudian putar tubuhnya dan bergegas meninggalkan tempat itu.

Wiro Sableng menggerutu dalam hatinya. “Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet kulit kakinya baru tahu rasa!” Dia geleng-geleng kepala dan melangkah pula mengikuti. Beberapa lama kemudian mereka sampai di tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak satu pun dari keduanya yang buka mulut.

“Rara,” kata Wiro ketika mereka sampai di jalan umum itu. “Ada baiknya kita berhenti istirahat di sini. Siapa tahu ada kereta atau gerobak yang lewat dan kita bisa menumpang.”

Gadis itu tak menjawab. Tapi dia menghentikan langkah karena memang kedua kakinya sudah letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di tepi jalan itu tapi tak satu kendaraan pun yang lewat.

“Rara Murni…” kata Wiro Sableng. “Agaknya kau tidak senang terhadapku…? Tak mau bicara denganku?”

Rara Murni diam saja. Sebenarnya memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya terhadap pemuda itu. Hanya segala apa yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir menimpa dirinyalah yang membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap pemuda berambut gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa adanya.

Wiro Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia. “Kita berangkat lagi, Rara…?”

“Saudara….” kata Rara Murni untuk pertama kalinya sesudah sedemikian lama berdiam diri. “Kau sendiri siapa sebenarnya dan mau menuju ke mana?”

“Ah… ini pertanyaan yang bagus sekali. Bagus sekali.” kata pendekar 212 dengan senyum-senyum. “Siapa aku, kurasa tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju… aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu… !”

Rara Murni memandang dengan sudut matanya memperhatikan pemuda itu. Jawabannya seperti jawaban orang yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula jawaban itu hanya sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke ujung jalan sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor lembu. Di bagian depan gerobak yang terbuka itu duduk dua orang laki-laki. Mereka berpakaian petani sedang setengah dari gerobaknya sarat dengan sayur mayur.

“Nasib kita baik juga rupanya Rara,” kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu dating mendekat, pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.

“Saudara, apakah kalian menuju ke Kotaraja?” Kedua orang di atas gerobak tak menjawab pertanyaan Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di sampingnya.

“Kalau kami tak salah lihat,” kata laki-laki yang mengemudikan gerobak, “Agaknya kami berhadapan dengan Tuan Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran…” Rara Murni mengangguk dan kedua orang itu segera turun dari kereta lalu menjura. “Ada hal apakah sampai Tuan Puteri berada di tempat ini…?” tanya laki-laki yang memegang kemudi gerobak. Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng, lalu melirik pada kawannya.

Rara Murni hanya menarik nafas panjang. Karena mengira pemuda rambut gondrong dan berpakaian sederhana itu adalah hamba sahaya atau pembantu Rara Murni maka yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala acuh tak acuh. Seorang dari mereka kemudian berkata pada Rara Murni:

“Jika Tuan Puteri bermaksud hendak kembali ke Pakuan, kami tentu saja bersedia bahkan merasa berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah keadaan kereta kami, kotor dan penuh sayuran…”

“Itu tak menjadi apa, pokoknya asal sampai ke Kotaraja.” Yang menjawab adalah Wiro Sableng. Ini mengesalkan kedua orang itu. Kemudian mereka menolong Rara Murni naik ke atas gerobak. Gadis itu duduk di sebelah muka, di samping pengemudi sedang kawannya bersama Wiro Sableng duduk di sebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak lama kemudian gerobak itu pun bergeraklah.
***​
 
EMPAT BELAS

Kesunyian sepanjang jalan itu kini dipecahkan oleh suara deru roda gerobak. Sekali-sekali diselingi dengan gemeletakkan-gemeletakkan bila roda gerobak menggilas bebatuan atau suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki lobang jalanan.Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua kakinya di bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang yang sejuk.

Beberapa kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa membuang muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang sebentar-sebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut gondrong.

Beberapa saat kemudian Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat. Ini menambah ketidaksenangan orang yang di hadapannya. Saudara, aku minta mentimunmu satu.... kata Wiro Sableng.

Dan tidak menunggu jawaban pemilik sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun besar dan menggerogotinya.Orang yang di depan Wiro Sableng memaki dalam hati.

Rahangnya terkatup rapat-rapat. Rara Murni... seru Wiro Sableng tiba-tiba. Apakah kau suka makan mentimun?Di bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak menjawab.

"Panas-panas begini enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan mendapatkannya tak usah susah payah...Terima kasih... aku tidak haus, Saudara...." Terdengar jawaban gadis itu.

"Hem...." Wiro Sableng menggumam dan terus juga mengunyah mentimun dalam mulutnya, dan gerobak terus juga bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang serta berbatu-batu.Di bagian belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya tampang orang yang di hadapannya.

Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah kenyang memang kantuk segera datang.

Mendadak gerobak itu dibelokkan ke sebuah jalan buntu yang menuju sungai oleh pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni bertanya "Saudara, kenapa ke sini dan berhenti di sini?" Pengemudi gerobak tertawa mengekeh.

Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu lenyap dan diganti dengan teriakan Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta sendiri petani yang duduk dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik pinggang. Begitu golok tercabut keluar dari sarungnya tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan ke kepala Wiro Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam tertiup angin sejuk sepanjang perjalanan!

Satu jengkal lagi mata gotok yang tajam akan membelah batok kepala pendekar 212, maka terdengarlah bentakan menggeledek.

Ciaaat!

Tubuh petani yang menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu kemudian tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia ini hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun! Pandangan bola mata pendekar 212 menyorot bersinar.

Kentut betul! makinya dan meludahi muka mayat petani ini. Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan sendiri! Puah...! Diludahinya lagi muka mayat itu kemudian dipalingkannya kepalanya dengan cepat.

Rara Murni tengah meronta-ronta melepaskan cekalan petani yang mengemudikan gerobak sayur. Saudara, tolong aku! teriak gadis itu pada Wiro Sableng.Petani sialan! gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak.

Budak hina! Pergi dari sini atau kutebas batang lehermu! teriak laki-laki yang mencekal Rara Murni. Sreet! Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.

"Hemmm... jadi kau hanyalah seorang rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh? Seekor serigala yang berbulu domba.... Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah! Anjing buduk tak tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!" Dengan tangan kirinya pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni.

Melihat kelihayan totokan laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah seorang petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay yang tengah menyamar!

Maka ketika senjata lawan berkelebat ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak cepat dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar sewaktu melihat orang yang diserangnya tenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang deras mengenai tempat kosong. Ini membuat laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat inilah kedua matanya melihat sosok tubuh kawannya yang menggeletak di tanah dengan perut pecah!

Berdiri bulu kuduk laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua kalinya berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng.

Tapi kali yang kedua ini justru adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi menghantam angin kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya maka lima jari tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki dengan golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!

Plaaak!

Telapak tangan kanan pendekar 212 mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan suara jerit kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi. Kulit keningnya hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening itu terteralah angka 212. Laki-laki ini bernasib masih untung dari kawannya karena pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya.

Wiro Sableng melepaskan totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni. Hari ini nasibmu sial terus-terusan rupanya, Rara, kata pemuda itu dengan senyum-senyum. Si gadis tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi: "Tapi ada juga untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan.” Rara Murni naik kembali ke atas gerobak.

Wiro Sableng mengemudikan gerobak itu. Sepanjang perjalanan gadis itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk di sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh dan juga lucu. Dan di samping itu kehebatan yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam membuat dia mengagumi si pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama sekali siapa nama pemuda itu!

Beberapa jauh di luar tembok kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia berpaling ke samping. Lalu berkata: Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku mengantarkan kau hanya sampai di sini. Kau bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk mengemudikannya....

Kau sendiri hendak ke mana, Saudara? tanya Rara Murni heran.Pendekar 212 tertawa. Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa jawab, ujar Wiro Sableng pula. Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan segala kejadian yang kau alami pada Sang Prabu.

Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau alami itu mempunyai latar belakang. Dan bukan mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar istana lainnya yang menjadi pengkhianat macam Kalasrenggi....

Rara Murni mengangguk. Kemudian Wiro Sableng berkata lagi: Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk membekuk Kalasrenggi....

Rara Murni mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut gondrong itu memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata: Saudara... tunggu dulu.

Pendekar 212 putar tubuhnya kembali. Ada apakah Rara...? Aku belum bilang terima kasih pada kau...Ah.... Wiro Sableng goyangkan tangannya, Tak usah... tak usah. Itu hanya kebetulan saja....

Sang Prabu mungkin akan banyak bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut sama-sama ke istana.Terima kasih. Tapi aku ada urusan lain Rara.... jawab Wiro Sableng.

Lalu kalau hem... kalau Sang Prabu bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti menerangkannya?Wiro Sableng tertawa. Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua dilahirkan tidak bernama. Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya kebiasaan saja....

Jadi, apakah kau tidak punya nama? tanya Rara Mumi pula.Wiro Sableng tertawa lagi. Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran ingat-ingat angka ini.... Habis berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain yang dikenakan Rara Murni. Dan dengan ujung jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam tentunya, maka dituliskannya tiga rentetan angka 212.Rara Murni memperhatikan angka itu. Dua satu dua...: desisnya. Diangkatnya kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu.

Namun dia terkejut dan tak habis heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan bumi. Rara Murni memandang berkeliling. Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.Gadis itu menghela nafas panjang. Pemuda aneh... agak ceriwis... tapi berhati polos.... kata Rara Murni dalam hati.

Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun bergeraklah menuju pintu gerbang Kotaraja.Tentu saja Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat keterangan dan mengetahui apa yang telah terjadi atas diri adiknya.

Sepasukan prajurit kerajaan segera dikirim ke lembah Limanaluk. Tapi mereka datang terlambat karena saat itu pengkhianat Kalasrenggi sudah tak bernafas lagi, mati tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta telinga!Rara Murni sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha mereka sia-sia belaka.

Hari itu juga di seluruh Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan sama sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden Werku Alit tetap tenang-tenang saja di tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di lingkungan istana. Siapa yang menduga kalau saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri yang menjadi tokoh pengkhianat terbesar?

Satu-satunya orang yang ditangkap dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang menggagahi Rara Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan menghunjamkannya ke batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa di situ juga. Siapakah petani ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan riwayatnya oleh pendekar 212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu memutuskan untuk membunuh diri sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki tangan kaum pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku Alit dan menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan total diadakan!

Seperti yang diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong yang mereka sangkakan hamba sahaya Rara Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk menculik gadis itu dan membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki Gunung Halimun.

Namun maksud mereka itu membawa celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu mati dihajar pendekar 212. Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu kerajaan tapi berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum dipaksa untuk memberikan keterangan!

Next...
 
Last edited:
LIMABELAS



Sebagai pendekar yang baru turun gunung dan cemplungkan diri dalam dunia persilatan tentu saja Wiro Sableng buta pengalaman dalam pertempuran. Tapi selama tujuh belas tahun digembleng oleh Eyang Sinto Gendeng maka serangan-serangan yang dahsyat itu sama sekali tidak membuat pendekar muda ini menjadi gugup. Eyang Sinto Gendeng talah menggemblengnya bukan hanya sekedar memberi pelajaran ilmu silat luar dalam dan melatihnya belaka, tapi latihan-latihan perempuan sakti itu tak ada bedanya dengan pertempuran dahsyat yang benar-benar bisa mencelakakan Wiro sendiri.



Ketika tiga serangan itu datang ke arahnya, Wiro Sableng segera sambar pinggang Nilamsuri. Secepat kilat kemudian dia jatuhkan diri dan sambil berteriak hebat pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke kaki seekor kuda lawan yang hampir menendang batok kepala Nilamsuri. Kuda itu meringkik keras dan rubuh karena kakinya itu hancur. Penunggangnya yaitu si mata jereng Pitala Kuning terlempar ke tanah tapi dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh berhasil jatuh dengan kedua kaki menginjak tanah. Sementara golok panjang Bergola Wungu dan kelewang Seta Inging beradu keras di udara memercikkan bunga api maka sambil bergulingan di tanah, Wiro Sableng tak lupa hantamkan kaki kiri kanannya pada kaki-kaki kuda kedua manusia berewok itu. Seperti dengan kuda Pitala Kuning tadi maka kedua binatang inipun melemparkan Bergola Wungu dan Seta Inging. Wiro Sableng menyandarkan Nilamsuri pada sebatang pohon dan cepat bersiap-siap ketika dilihatnya tiga manusia berewok itu mendatanginya. Akan Ketut Ireng tak masuk hitungan karena saat itu dia duduk menjelepok di tanah merintih karena kaki kanannya yang hitam gembung dan sakitnya bukan main!



”Aku peringatkan pada kalian untuk penghabisan kali!” kata Wiro Sableng, ”Tinggalkan tempat ini!”

”Jangan omong besar bangsat ingusan!” bentak Bergola Wungu dengan sangat geram. ”Sebut kau punya nama agar golokku ini tidak penasaran menebas batang lehermu!”

Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul lalu garuk-garuk kepala dan tertawa gelakgelak. Kemudian menyanyilah murid Eyang Sinto Gendeng ini.

Anak kecil bodoh namanya biang bodoh,

Tua bangka bodoh namanya biang bodoh,

Monyet ingin jadi manusia,

Kenapa manusia piara berewok,

Apa mau jadi monyet….

Tolol, bodoh, bego, geblek!




Marahlah Bergola Wungu mendengar tembang yang kata-katanya ditujukan kepadanya sebagai ejekan itu. ”Bocah gila!” bentaknya, ” terima ujung golokku ini!” Dengan pergunakan jurus ”burung bangau mematuk kodok,” Bergola Wungu tusukkan golok panjangnya ke arah tenggorokan Wiro Sableng. Pendekar Gunung Gede ini segera meringankan badan. Ujung golok hanya lewat setengah jengkal disamping lehernya.



Wiro tertawa mengejek. Panas pemimpin Empat Berewok dari Gua Sanggreng ini tidak terkirakan. Baru hari ini ilmu golok yang sangat dibanggakannya itu dikelit dengan demikian mudah bahkan sambal tertawa mengejek dan menantang! Dengan kertakkan rahang Bergola Wungu balikkan mata pedang dan babatkan senjata itu. Kali ini maksudnya untuk menebas batang leher si pemuda. Kedua kaki Wiro Sableng bergerak sedikit, tangan kirinya menepis lengan yang memegang golok sedang telapak tangan kanan dihantamkan ke dada Bergola Wungu!



Kepala rampok Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu mengeluarkan jerit tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang hampir jatuh duduk di tanah. Ketika dia memandang ke dadanya yang dihantam telapak tangan lawan, parasnya dengan serta merta menjadi pucat! Baju hitamnya robek hangus. Pada kulit dada yang tadi kena dihantam terlukis memutih telapak tangan dan jari-jari tangan Wiro Sableng! Pada tengah-tengah lukisan itu tertera angka hitam 212. Dan sakitnya dada yang bertanda telapak tangan kanan berikut angka 212 itu bukan olah-olah. Meski Bergola Wungu sudah alirkan seluruh tenaga dalamnya, rasa sakit itu hanya sedikit saja berhasil dikuranginya! Pitala Kuning dan Seta Inging tidak kurang pula pucat tampang-tampang mereka melihat apa yang terjadi dengan pemimpin mereka. Tidak dinyana pemuda belia berparas macam anak-anak itu lihay sekali. Apa arti angka 212 yang membekas hitam di kulit Bergola Wungu itu?



Pukulan ”telapak 212” yang dilancarkan oleh Wiro Sableng tadi itu hanya mempergunakan seperlima bagian saja dari tenaga dalamnya! Kalau saja pendekar muda ini pergunakan setengah saja bagian dari seluruh tenaga dalamnya maka pastilah Bergola Wungu akan meregang nyawa dengan dada remuk!



Luapan amarah Bergola Wungu membuat pemimpin rampok yang malang melintang di sungai Cimandilu ini lupakan kenyataan bahwa pemuda yang dicapnya sebagai ”pemuda gila”, ”bocah ingusan” itu sesungguhnya bukanlah tandingannya! Bergola Wungu majukan kaki kanan dan surutkan kaki kiri. Golok panjang dipegang lurus ke muka. ”Bocah sedeng! Kau telah bikin cacad dadaku! Aku Bergola Wungu akan berbaik hati untuk membalasnya! Kau tahu jurus apa yang bakal aku lancarakan ini?!” Pendekar kapak maut naga geni menjawab dengan tertawa bergelak sambil garukgaruk kepalanya yang berambut gondrong.

”Lucu!” kata Wiro Sableng pula. ”Bertempur ya bertempur. Kenapa musti pakai pidato segala!”

Bergola Wungu merasa tubuhnya seperti terbakar oleh kobaran amarahnya yang menggelegak. ”Kau boleh tertawa dan mengejek sepuas hatimu bocah gila! Bila golokku berkiblat dalam jurus: merobek langit, kau akan tahu rasa nanti!”



Adapun jurus ilmu golok yang disebut ”merobek langit” itu adalah jurus yang telah dipergunakan oleh Bergola Wungu untuk ”menelanjangi” tubuh Nilamsuri yaitu dengan merobek-robek pakaian gadis itu dengan ujung goloknya. ”Jurus merobek langit memang hebat kedengarannya!” kata Wiro Sableng. ”Tapi coba buktikan. Jangan-jangan cuma jurus kosong belaka!”



Tanpa banyak bicara Bergola Wungu segera putar goloknya dengan sebat. Angin menderu dahsyat keluar dari sambaran golok. Demikian hebatnya seakan-akan golok itu berubah menjadi ratusan banyaknya! Dalam sekejapan mata saja tubuh Wiro Sableng sudah terbungkus gulungan golok! Yang anehnya, diserang hebat demikian rupa tidak serambutpun Wiro Sableng bergerak. Dan lebih aneh lagi adalah karena golok Bergola Wungu sama sekali tidak dapat mendekati bagian tubuh manapun dari Wiro Sableng! Manusia berewok ini mencak-mencak sendirian macam monyet terbakar ekor! Seta Inging dan Pitala Kuning yang saksikan kejadian itu mau tak mau jadi leletkan lidah!



Demikianlah hebatnya ilmu ”benteng topan melanda samudra” yang dikeluarkan Wiro Sableng sehingga setiap sambaran tusukan dan sabetan golok sama sekali tidak dapat mengenai tubuh Wiro Sableng. Tubuh golok dilanda terus-terusan oleh gulungan angina dahsyat yang membungkus tubuh murid Sinto Gendeng itu! Bergola Wungu membentak keras dan percepat permainan goloknya. Tapi sampai dua puluh jurus dimuka tetap saja goloknya tak dapat membentur sasarannya di tubuh Wiro! Pakaian dan tubuhnya sudah mandi keringat. Pegangan pada hulu golok sudah licin. Keletihan membuat gerakannya mulai menjadi lamban!



”Seta Inging! Pitala Kuning! Jangan jadi patung! Bantu aku!” teriak Bergola Wungu dengan sangat beringas. Mendengar perintah ini Pitala Kuning dan Seta Inging segera menyerbu dengan senjata di tangan. Sebatang golok panjang, sebuah ruyung berduri dan sebuah kelewang dengan dahsyatnya menyambar-nyambar ke tubuh Wiro Sableng. Tapi ilmu ”benteng topan melanda samudera” membuat ketiga senjata itu tak ada arti sama sekali. Wiro Sableng tertawa bergelak. Tawa gelak yang disertai tenaga dalam ini menambah hebat perbawa ilmu ”benteng topan melanda samudera!”



Sepuluh jurus berlalu.

”Ciaatt!!” tiba tiba pendekar kapak maut Naga Geni membentak keras. Tiga manusia berewok keluarkan seruan tertahan dan lompat dari kalangan pertempuran. Mata mereka melotot besar memandang ke tangan Wiro Sableng yang saat itu telah merampas dan menggenggam senjata mereka!! Ketut Ireng yang duduk menjelepok merintih kesakitan, juga tak ketinggalan terbeliak dan terlongong-longong!



Nama Empat Berewok dari Goa Sanggreng bukan nama baru dalam dunia persilatan pada masa itu mereka terkenal sebagai komplotan rampok yang berilmu tinggi dan ditakuti di sepanjang sungai Cimandilu. Terutama pemimpin mereka Bergola Wungu diakui kehebatan permainan goloknya oleh kalangan persilatan! Mereka tahu, kalau pemuda itu inginkan nyawa mau mencelakakan mereka maka sudah sejak tadi hal itu bisa dilakukannya!



”Kalau hari ini kami diberi sedikit pelajaran,” kata Bergola Wungu dengan suara bergetar, ”maka ketahuilah bahwa kami tak akan melupakan kejadian ini. Suatu hari kami akan datang untuk meneruskna apa yang terjadi hari ini!” Wiro Sableng tertawa bergelak, ”Bagus, bagus! Kau masih bisa pidato huh!! Ini terima kembali senjata kalian!” Sekali tangan kanan Wiro Sableng bergerak maka ketiga senjata lawan yang tadi dirampasnya kini melesat ke arah ketiga orang itu masing-masing pada pemiliknya, Bergola Wungu menangkap hulu golok, Seta Inging menangkap gagang kelewang sedang Pitala Kuning menyambuti tangkai ruyung berdurinya.



Tanpa banyak bicara ketiga orang itu dengan membawa kawan mereka yang menderita sakit pada kakinya, segera hendak angkat kaki. Tapi sebelum mereka berlalu Wiro Sableng berkata: ”Satu hal kalian harus ingat baik-baik manusia-manusia berewok. Jika kalian berani lagi ganggu ini gadis, berarti kalian ingin cepat-cepat masuk liang kubur!”
 
Last edited:
ENAMBELAS



Begitu Empat Berewok dari Goa Sanggreng lenyap dikejauhan maka Wiro Sableng segera lepaskan totokan di leher Nilamsuri. Gadis ini memandang berkeliling dengan terheran-heran. Dia seperti orang yang baru bangun dari mimpi. Tapi jelas dilihatnya bekasbekas pertempuran di sekelilingnya.

”Apa yang terjadi?” bertanya gadis itu.

Wiro tertawa. ”Tak satupun,” jawabnya.

”Aku tak percaya. Tadi kudengar suara derap kaki kuda menuju ke sini….”

”Ah, kau ini ada-ada saja. Aku tak dengar suara apa-apa….”

Nilamsuri berpikir-pikir dan mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya memandang lekat-lekat pada Wiro Sableng. ”Tadi…. kau melompatiku dan…,” gadis ini raba urat besar di pangkal lehernya. ”Ya…. kau menotok urat besar di leherku ini?” Habis berkata demikian Nilamsuri segera cabut pedang! ”Apa yang kau telah perbuat

terhadap diriku?” tanyanya membentak.



Murid Sinto Gendeng memaki dalam hati, ”Sialan! Sudah ditolong malah menuduh yang bukan-bukan!” Tapi di hadapan si gadis itu pemuda itu masih sunggingkan senyum. ”Kuharap kau jangan punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudari….” ”Lalu perlu apa kau menotok aku?!” Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia sebenarnya. Karena itu dia menjawab dusta. ”Kau ingat bagaimana kau begitu kalap untuk bertempur melawan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu?!” ”Ya, lalu?!”

”Dengar saudari, aku hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu kau tak bakal sanggup menghadapi mereka, aku lantas totok kau punya urat besar lalu sembunyi dibalik rumpun bambu. Ketika mereka pergi kubawa kau kembali ke sini dan kulepaskan totokan di lehermu.”

”Aku tak percaya….!” kata Nilamsuri.

”Aku memang tidak suruh kau percaya untuk mempercayainya,” menyahuti Wiro Sableng.

”Kai ini siapa sebenarnya?!”

”Heh…,” Wiro Sableng hela nafas panjang. ”Bukankah aku sudah kasih tahu nama? Malah kau sendiri masih rahasiakan kau punya nama!”

Nilamsuri dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk menjajal si pemuda.

”Baik,” katanya, ”jika kau tidak mau kasih keterangan, biar pedangku ini yang memintanya!” Habis berkata demikian maka gadis ini segera kirimkan satu tusukan hebat ke dada Wiro Sableng!



Wiro terkejut dan gerabak gerubuk lompat kesamping. ”Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa kau serang aku?!” Sebagai jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian kemari membuat Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat. ”Sekarang kau tak bisa sembunyikan diri lagi saudara!” kata Nilamsuri. ”Terima jurus elang menyambar burung dara ini!” Pedang di tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke bahu Wiro. Ketika pemuda ini berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan burung elang!



Wiro lambaikan tangan kiri, angin keras membentur badan pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya!

”Saudari!” seru Wiro Sableng, ”sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!” Habis berkata demikian pemuda ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis lalu berkelebat.

”Pemuda kurang ajar!” maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat tenaga. Tapi Wiro Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya suara tertawanya yang masih sempat terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang cantic kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis sekali! Tapi kini dia sudah tahu bahwa pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak miring. Sama sekali tidak buta dalam ilmu silat! Tadi dia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedangnya yang lihay dan si pemuda berhasil mengelakkan bahkan memukul badan pedang dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras!



Meski hatinya marah sekali dengan keceriwisan pemuda itu tapi rasa senang dan kagumnya tak dapat disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika dia mengusap dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng.


*****​



Kedai itu sepi saja. Angin malam bertiup dingin dari lembah. Wiro Sableng masuk ke dalam seenaknya dan sambil bersiul-siul. Orang tua pemilik kedai menyambuti dengan muka pucat cemas. ”Orang muda,” katanya, ”sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini!” ”Memang kenapa?” tanyanya. ”Sebentar lagi mungkin empat manusia berewok itu akan kembali ke sini….”

”Siapa takutkan mereka!” ujar Wiro.

”Tapi anak muda, kau mungkin belum tahu siapa mereka itu.”

”Perduli amat siapa mereka,” kata Wiro pula sambil duduk di kursi.

Dan pemilik kedai itu berkata lagi, ”Mereka adalah rampok-rampok yang ditakuti di sungai Cimandilu! Mereka adalah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!”

”Biar mereka adalah Empat Setan dari Neraka, aku tetap tak perduli!”

Pemilik kedai jadi terdiam. Siang tadi dia memang telah menyaksikan bagaimana pemuda itu menyumpal mulut Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan pisang. Maka bertanyalah dia, ”Orang muda, kau ini siapa sebenarnya dan datang dari mana?”

Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang dicuilnya dan pemuda ini senyum-senyum sendiri. Si orang tua diam-diam mulai meragukan apakah anak muda ini berotak sehat! ”Bapak sudah lama tinggal di sini?” tanya Wiro.

”Sejak masih orok….”

”Hem…. kalau begitu tentu kenal dengna nama Ranaweleng….”

”Oh tentu… tentu sekali. Beliau adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayang….”

”Sayang kenapa….?”

Orang tua itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau menembusi kegelapan malam, seperti tengah mengenangkan sesuatu. ”Beliau sudah meninggal…,” katanya kemudian menambahkan.

Wiro Sableng menelan ludahnya. ”Bapak tahu siapa yang membunuhnya….?” Pertanyaan ini membuat si orang tua memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng. ”Semua orang tahu….,” katanya. Kemudian dituturkannya peristiwa kematian Ranaweleng dan Suci Bantari sekitar tujuh belas tahun yang lewat.



Kisah ini sudah didengar sejelasnya oleh Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng. ”Ada satu keanehan dalam peristiwa tujuh belas tahun yang lalu itu,” kata si pemilik kedai.

”Keanehan bagaimana?” tanya Wiro ingin tahu.

”Waktu itu Mahesa Birawa dan anak-anak buahnya membakar rumah mendiang Ranaweleng. Dalam kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar suara tangisan orok! Itu adalah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banayak sangat kebingungan. Bagaimana mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada saat yang sangat tegang itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali bayangan hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api lalu lenyap. Dan suara tangisan oroknya Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari. Tapi tak ditemui tulang belulang orok itu….”



Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia tahu betul, orok yang diceritakan orang tua itu adalah dirinya sendiri dan berkelebatnya bayangan hitam adalah kelebat bayangan gurunya Eyang Sinto Gendeng!

”Sampai sekarang tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?” bertanya Wiro.

Si orang tua angkat bahu. ”Kalau dia masih hidup kira-kira sebesar kaulah, anak muda,” katanya.

”Mahesa Birawa sendiri…. apakah masih hidup?”

”Masih…. sampai dua tahun belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi sekarang entah dimana. Tapi ada atau tidaknya dia di sini, sama saja. Empat orang anak buahnya sama saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang melintang di kampung ini. Kalau makan tak pernah bayar!”



”Apakah mereka itu Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu?” tanya Wiro.

”Bukan…. bukan! Justru Empat Berewok dari Goa Sanggreng ini sengaja datang dari jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini! Dan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu bukanlah manusia baik. Mereka rampok-rampok yang tak kalah kejam dan terkutuknya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa! Tapi ketika mereka datang anak-anak buah Mahesa Birawa tak ada di sini. Kebetulan keluar…. sudah empat hari dengan hari ini….”

Wiro mengulurkan tangannya memotes sebuah pisang yang tergantung

”Eee…. apakah kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?” tanya si pemilik kedai.

Wiro tertawa, ”Hutang dulu toh tak apa-apa….” sahutnya.

Si orang tua mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi ”langganan”nya yang makan tanpa bayar!



Sambil mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, ”Urusan apakah yang dibawa oleh Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu ke sini?”

Si orang tua memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, ”Perlu kau ketahui….pemimpin Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu, yang kini memakai nama Bergola Wungu, dulunya adalah penduduk kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian membunuh ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan perempuan itu serta saudara-saudara perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia kembali ke sini ternyata dia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa!”



Lama Wiro Sableng terdiam. Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri. ”Kenal dengan seorang yang bernama Kalingundil?”

Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut. ”Adalah lucu kalau pertanyaan itu kau ajukan saat ini, anak muda?” katanya.

”Kenapa….?”

”Karena Kalingundil adalah anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang bertindak sebagai pemimpin dari tiga kawan-kawan lainnya!” Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya disembunyikannya. Dan dia berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan siang tadi menanyakan apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh manusia bernama Kalingundil itu? Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. ”Siang tadi, Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas cantik. Bahkan gadis itu hendak mereka perkosa beramai-ramai. Mungkin bapak tahu pangkal sebab sampai hal itu terjadi….? mungkin juga kenal dengan gadis itu?”



”Gadis itu berpakaian biru….?”

”Betul.”

Si orang tua hela nafas. ”Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku apakah ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab tidak tahu. Aku tak ingin susah anak muda. Kalau kukatakan ada dan Kalingundil mengetahuinya, pastilah leherku akan jadi umpan pedang Kalingundil dan gadis itu adalah anak Kalingundil sendiri!”



Kini jelaslah bagi Wiro Sableng mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk membunuh si gadis baju biru itu.

”Kalingundil yang bikin kejahatan, anaknya yang musti ikut tanggung akibat…,” desis orang tua pemilik kedai.

Wiro manggutkan kepala. ”Dendam kesumat laksana besi tua seribu karat kadang kala tidak mengenal pembalasan yang wajar….”, katanya. ”Kadang kadang itu adalah merupakan hukum karma bagi seseorang yang pernah melakukan perbuatan terkutuk!”

”Kata-katamu betul, anak muda….”, kata orang tua itu pula. Lalu diangsurkannya mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. ”Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kau telah mendustainya, habis mukaku ini ditempelaknya….!”

”Itu salahmu sendiri,” kata Wiro seenaknya. ”Siapa suruh kau yang tua bangka masih mau berdusta!”



Orang tua itu jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan dia memaki lagi untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, ”Minta tehnya, pak.” Sementara si orang tua membuatkan segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru yang menarik

perhatiannya itu adalah anak Kalingundil. Anak buah Mahesa Birawa yang telah membunuh kedua orang tuanya.



Ketika si orang tua datang membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng, ”Bapak tahu nama anak perempuan Kalingundil itu?” ”Nilamsuri. Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya manusia terkutuk!”

”Sewaktu Mahesa Birawa melakukan pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah Kalingundil juga ikut-ikutan?” tanya Wiro lagi.

”Bukan hanya Kalingundil, tapi semua anak buahnya,” menyahuti si orang tua.

Wiro hendak bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali karena di luar terdengar suara gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan cepat. Mereka bukanlah Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling pada orang tua pemilik kedai, orang tua ini tarik nafas panjang dan berkata, ”Kalingundil dan anak-anak buahnya…. pasti akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola Wungu….”

”Menurutmu…. siapa yang bakal menang di antara mereka?” tanya Wiro.

Orang tua itu angkat bahu. ”Aku tidak mengharapkan siapapun di antara mereka akan menang! Kalau dapat biarlah Gusti Allah membuat mereka mampus semua. Kalingundil dan Bergola Wungu tiada beda bagiku! Sama-sama jahat! Sama-sama tidak bayar kalau makan apa-apa di sini!”



Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh manis dalam gelas kaca itu. Lalu dia berdiri. ”Meski hari ini aku tidak bayar harga pisang dan teh manis itu, tapi jangan samakan aku dengan Bergola Wungu atau Kalingundil….” Habis berkata demikian Wiro segera tinggalkan kedai. Si orang tua mengangkat gelas bekas minuman pemuda itu. Tapi sesuatu menarik perhatian matanya yang sudah agak mengabur itu. Pada kaca gelas dilihatnya sederetan angka. Diperhatikannya lebih dekat. Tidak salah, itu memang deretan angka 212. Tak habis mengerti orang tua ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung pakaiannya. Disekanya lagi…. lagi…. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau pupus! ”Ah…. semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehan….” Katanya dalam hati.
 
Last edited:
TUJUHBELAS



Dari jauh telah terdengar suara beradunya senjata serta bentakan-bentakan hebat. Wiro Sableng percepat jalannya. Dan bila dia sampai di halaman rumah yang agak kegelapan itu maka dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu kini berubah menjadi sebuah medan pertempuran. Enam manusia, sepasang demi sepasang tangah bertempur hebat dan cepat. Di tangga rumah besar dilihatnya berdiri Nilamsuri.



Di bawah tangga, dengan bersedekap tangan berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi langsing. Wiro tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia yakin betul bahwa manusia ini pastilah Kalingundil. Di ujung halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang yang terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan jalannya pertempuran. Tiga orang anak buah Kalingundil yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu rendah. Permainan golok mereka cukup lihay. Tapi menghadapi anak-anak buah Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah gesit.



Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak! Tiga jurus kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang Seta Inging. Pertempuran yang agak lama berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan Saksoko.

Kedua orang ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan golok. Namun oleh kemenangan kedua kawannya Ketut Ireng mendapat semangat dan nyali besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah! Rahang-rahang Kalingundil kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya terpentang. Saat itu karena gelap tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan Kalingundil menjadi hitam samapi ke jari-jari tangannya.



Didahului dengan suara bentakan yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka melompatlah Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu berada. Tujuh belas tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan. Dan kini dapat dibayangkan bagaimana keampuhannya! Tiga pekik kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala Kuning terlempar sampai lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa!



Bergola Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan tubuh bergetar. ”Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi! Majulah jika kau benar-benar ingin membalaskan dendam kesumat seribu karat!” Meski bagaimana kobaran amarahnya namun Bergola Wungu menyahuti, ”Jangan bicara terlalu keren, keparat! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayahbundaku!”



Habis berkata demikian, Bergola Wungu putar tubuh. Tapi saat itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua tangan terpentang! Bergola Wungu yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia berkelit ke samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke dada Kalingundil. Kalingundil melompat ke samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini juga dapat dielakkan Bergola Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari bagian yang gelap di bawah pohon mempelam terdengar suara memaki.



”Kalingundil edan! Orang sudah kasih kesempatan untuk bertempur besok pagi masih saja beringasan! Gelo betul!”

Kalingundil keluar dari kalangan pertempuran. Segera dia hantamkan lengannya ke jurusan datangnya suara. ”Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah unjukkan diri!” Angin dahsyat melanda ke tempat gelap, menghantam pohon mempelam sampai pohon itu tumbang. Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke samping, Bergola Wungu pun sudah lenyap!



Akan Nilamsuri begitu mengenali suara yang memaki tadi tanpa tunggu lebih lama dia segara mengejar ke tempat gelap. Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampong dekat pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya dikuntit. Dengan pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai ke puncak yang sangat tinggi dia melompat ke satu cabang pohon dan menunggu. Nyatanya yang mengejar adalah si gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun kembali.



”Kita berjumpa lagi, Nilamsuri….”

”Eh, dari mana kau tahu namaku?” gadis itu tanya dengan heran.

Wiro Sableng tertawa dan menjawab, ”Terlalu banyak manusia tempat bertanya. Terlalu banyak mulut yang bisa kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!”

”Ada apa kau ikut campur urusan ayahku?!” balik menanya Nilamsuri.

Wiro Sableng melangkah mendekati gadis itu. Matanya yang memandang tajam membuat hati si gadis menjadi berdebar. Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri menyurut mundur namun badannya tertahan oleh batang pohon.

”Ayahmu Kalingundil, bukan….?” desisnya. Gadis itu mengangguk. Wiro menyeringai. Dipegangnya bahu gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan tangan itu tapi tak jadi karena saat itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah ditubuhnya ketika bibir pemuda itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si pemuda mengusap mukanya. Dia diam saja. Juga masih diam ketika tangan itu meluncur turun ke bawah lehernya.



”Wiro…. kau ini ceriwis sekali…. ceriwis sekali,” bisik gadis itu setengah merintih.

Pemuda itu menyeringai. ”Kenapa kau ikuti aku….?”

”A…. aku suka padamu Wiro….”

Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut itu dan dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam terasa sangat dingin di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda keringat panas dalam melakukan apa yang belum pernah mereka alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya!



*****​



Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesegaran itu tiada dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua adalah Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras gadis ini agak pucat. Bergola Wungu hentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Kalingundil. ”Keluarkan senjatamua Kalingundil!”

Kalingundil tertawa bergelak dan meludah ke tanah. ”Untuk menghadapi manusia macam kau tak perlu pakai senjata segala! Mulailah!.” Mulut Kalingundil komat-kamit dan sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam!

Tergetar juga hati BergolaWungu melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak diperlihatkannya. Malahan dia berkata, ”Bagus kalau tak mau pakai senjata. Itu mempercepat aku mengirimkan kau ke neraka!” Bergola Wungu mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia menunjuk ke arah dua buah makam di bukit pekuburan. ”Kau lihat dua makam di lereng sana, Kalingundil?!”

Kalingundil tak berani mengalihkan pandangannya karena khawatir ini hanya tipuan belaka.

”Itu adalah makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak gembira bila menyaksikan sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!”

”Tak perlu jual bacot manusia hina! Terima lenganku!” Disertai angin yang dahsyat maka kedua lengan Kalaingundil memukul susul menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan lawan! Betapa terkejutnya dia ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan malahan mata goloknya menjadi sumplung!



Dengan segera Bergola Wungu keluarkan jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus ”merobek langit.” Sesaat saja terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus dimuka Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah lawan namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil coba menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya. Tapi Bergola Wungu tidak bodoh. Mana dia mau adu senjata dengan lengan yang kerasnya macam baja itu!



”Ha… ha… lekaslah minta tobat pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil!

Sebentar lagi kepalamu akan menggelinding!” ejek Bergola Wungu. Geram Kalingundil bukan alang kepalang. ”Kita akan lihat siapa yang bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk berewok!”, balasnya mengejek. Kalingundil berseru keras, ”Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!” Ratusan jarum hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan satu kali putaran golok saja senjata rahasia itu gugur semua ke tanah!



”Hebat! Hebat…. hebat!” terdengar suara dari jurusan barat. Orang yang bicara itu jauhnya masih sekitar seratus tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula dia sudah berada di tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu. ”Hebat memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa manusia itu adalah bagianku!”



Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan pertempuran. Bagi Kalingundil ini adalah satu keuntungan karena saat itu dirinya terdesak. Keduanya memandang pada orang yang berdiri di bawah pohon. Kalingundil kerutkan kening sedang Bergola Wungu katupkan rahang rapat-rapat begitu kenal pendatang baru itu!

”Kalingundil! Kau tak perlu pandang aku dengan kerut jidat segala! Dimana manusia bernama Mahesa Birawa?!”

”Orang muda bermulut besar, kau siapa?!” bentak Kalingundil.

”Ditanya malah menanya! Sialan betul!”, gerendeng Wiro Sableng. ”Tujuh belas tahun yang silam kau bersama Mahesa Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku! Juga membunuh ibuku dan Jarot Karsa! Apa kau punya otak masih sanggup mengingatnya?!”

Kalingundil merutuk dalam hati. Apakah manusia ini juga hendak membalaskan dendam kesumatnya seperti Bergola Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai suaranya tadi Kalingundil sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini. Hatinya mengeluh! Melayani Bergola Wungu saja dia sudah kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus! ”Apa maumu orang muda?!”



”Apa mauku….?!” Wiro tertawa bergelak.

Nilamsuri yang merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, ”Wiro…. Dia adalah ayahku!”

”Aku tahu adik manis…,” dan si pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih bisa dia mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis itu di dangau di tengah sawah tadi malam. ”Karena itulah aku berbaik hati datang ke sini hanya untuk meminta tangan kanannya saja!”

”Wiro!” muka Nilamsuri menjadi pucat.

Bergola Wungu sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan omong kosong belaka. Dia telah melihat kehebatan pemuda rambut gondrong ini!



Sebaliknya Kalingundil keluarkan tertawa membahak. ”Kurasa kau masih pantas untuk menetek sama kau punya ibu!”, ejeknya.

”Kata-kata itu cukup lucu, Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka bicara lucu!” Wiro Sableng melangkah mendekati Kalingundil.

Nilamsuri melompat ke muka hendak menahan si pemuda tapi pada saat itu pula dari samping Bergola Wungu yang sejak lama menahan kegeramannya terhadap Kalingundil, maka ketika melihat anak musuh bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih lama segera ditebaskan golok panjangnya!



Nilamsuri melengking! Tubuhnya tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah menyembur! Bergola Wungu yang melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun tangan terhadap Kalingundil segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru: ”Manusia bernama Wiro Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau merasa punya nyali untuk meneruskan, aku tunggu di Gua Sanggreng!”



”Setan alas betul!” maki Wiro Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah lereng bukit pekuburan. Angin laksana badai menderu dahsyat. Batu-batu nisan dan tanah pekuburan beterbangan. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar diterabas gundul! Tapi Bergola Wungu sudah lenyap dibalik bukit! Wiro Sableng putar kepala dan dia memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan diri. ”Boleh saja lari Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!”



Sekali pemuda itu melompat ke muka maka dia berhasil menyusul Kalingundil. Tiba-tiba Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut Wiro Sableng! Serangan yang dilancarkan dengan kalap serta karena ketakutan itu tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya yang diserang cepat gerakkan tangan kanannya.

”Kraak”!

Kalingundil melolong. Tangan kanannya sebatas bahu tanggal. Tulangnya copot! Daging dan otot seta urat-urat berserabutan mengerikan sekali! Laki-laki itu macam babi celeng seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi.



“Eee…. tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka kenang-kenangan ini!” Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan kanannya ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka terpampanglah lukisan telapak tangan berikut lima jari dengan angka 212 pada baigan tengahnya! Kalingundil seradak seruduk lagi macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di tangannya. Wiro Sableng tertawa mengekeh. Diperhatikannya laki-laki itu berlari macam dikejar setan! Tangan kirinya memutar-mutar lengan Kalingundil yang masih dipegangnya. Tiba-tiba dilemparkannya potongan lengan itu. Laksana anak panah potongan lengen itu melesat dan menghantam punggung Kalingundil, membuat laki-laki itu tergelimpang menelungkup di tanah, tapi segera bangkit lagi dan lari lagi!



Wiro Sableng hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar suara gerangan Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit melihat luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi. Dibopongnya gadis itu, dibawanya ke tempat teduh dan dibaringkannya.



”Wiro….” Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu. ”Wiro…. peluk aku….,” pintanya.

Wiro Sableng merangkul gadis itu.

”Cium aku…. Wiro….” Si pemuda mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan dingin kini, tidak basah dan hangat seperti malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat dan satu-satu. Sinar matanya semakin pudar.

”Umurklu untuk mengenalmu hanya sampai di sini, Wiro….” bisik Nilamsuri.

”Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau akan sembuh….” kata Wiro pula menghibur. Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan memberkasnya senyum itu di bibirnya maka saat itu pula rohnya lepas meninggalkan tubuh.



Pendekar muda dari Gunung Gede hela nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri masih dirangkulnya, masih dirabanya…. tapi kini tubuh itu tiada akan memberikan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan kehangatanpun tidak karena saat itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin. Wiro mennghela nafas panjang sekali lagi. Disibakkannya bagian pakaian yang robek di dada gadis itu. Pada bagian kulit dada yang masih utuh, tepat di atas buah dada sebelah kiri si gadis, dengan pergunakan ujung telunjuk jari tangan kanannya, Wiro menggurat tiga barisan angka: 212.



Disandarkannya tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu melangkahlah pendekar ini meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa, seperti tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir pemuda ini terdengarlah suara siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu….





T A M A T
 
Last edited:
Patok #4
 
MAUT BERNYANYI DI PADJADJARAN





WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Karya: BASTIAN TITO

MAUT BERNYANYI DI PAJAJARAN



SATU

Di bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup pemandangan beberapa saat lamanya. Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan angin gersang yang datang dari pedataran.

Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti! Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit. Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping. Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!….

Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahutahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!

Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku! Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya.

Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang lebar-lebar dan lebat.
“Manusia di atas pohon!,” bentak pemuda itu: “Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!” Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang berpatahan. Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul!

Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter. Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon!

Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon. Sekurang-kurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa!

Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksud-maksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter. “Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?”

Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi. “Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari “kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan.

Si pemuda tersenyum. “Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu…. Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan penjuru angin”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,” jawab Dewa Tuak pula. “Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?”

Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.

“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang pohon.
“He… he… he…,” Dewa Tuak girang sekali. “Memang tak ada ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau tihat dengan jelas!” Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya. “Kau biasa minum tuak, anak muda?”.
Si pemuda itu menjawab. “Pernah juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.

“Ayo orang muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan: “Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari pohon ini!”
Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“.
Dewa Tuak tertawa senang. “Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu…”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok…,” kata Dewa Tuak pula. “Dan rampoknya orang situ-situ juga”
Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan?

Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata: “Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya…” Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali.

Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda: “Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! dan aku harus haturkan maaf kepadamu… !” Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!” Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda.

Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali. “Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”

“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”.
Si pemuda tersenyum. “Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu…”.
Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu. “Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”. Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat: “Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!” Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.

“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku… Mari…”
Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda: “Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih pantas!” Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh. Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana…?”

Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel. “Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda. “Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!”Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!

“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru: “Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”. Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang. Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak”
Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya. “Sayang… sayang…,” katanya. “Sayang aku tak dapatkan itu pemuda…”. Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212.

Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung. Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah dengan gelar: “Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”! Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.

“Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan…”
“Tapi guru…”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau … dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!”

Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!

***​

DUA

Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan diinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam. Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu karang di sebelah timur melengking suara suitan aneh yang menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan mendongak ke atas. Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu karang runcing!

Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama. Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut melihat kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi murni. Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup berewok. Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang bertampang angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah dekat ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai. Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara. Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.

“Orang tua, aku yang muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”.
Orang yang ditanya kerutkan kening. “Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?!”. Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua berewok bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu yaitu musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
“Aku merasa tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua…!,” menyahuti si pemuda yang tak lain dari Wiro Sableng adanya. .
Si muka berewok masih memandang menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciri-ciri yang diterangkan muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi. Kali ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke arah Wiro.

Tiba-tiba mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar situ seperti dirobek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya tongkat di tangan kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan bagian yang kena ketuk lebur menjadi pasir! Kemudian kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro Sableng. “Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng…: Ah, kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu sendiri! Bego dan keblinger…!”
“Jaga mulutmu, orang tua!,” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diam-diam dia juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi. “Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku aku ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit, masih pantas ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku ayunkan tongkat saja pasti sudah kelojotan!”

Panas hati Wiro Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam pembuluhnya. “Orang tua!,” serunya. “Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa semut itu sanggup mengalahkan gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset oleh sebutir batu kecil berlumut…?!”
Si berewok kaki buntung tertawa dingin. “Barangkali kau belum tahu kebalikan ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan mejret amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan mental jauh tiada daya?”
Wiro Sableng keluarkan suara mendengus dari hidung. “Kadangkala manusia keliwat pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!,” sahutnya. “Tapi tak apa… aku tak ada urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!”.
Si orang tua tertawa berkekeh. “Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang…”
“Bukan aku yang bunuh…!”. “Tapi kau turut bertanggung jawab!” Menukas Bergola Wungu.

“Buset!,” kata Wiro.”Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah datang untuk menerima tantanganmu!”
Bergola Wungu tertawa mengejek. “Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!” “Keren betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau! Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau aku jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!”
Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup rapat. Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari dia.

Maka berkatalah si berewok tua kaki buntung. “Bocah 212, karena kau bicara begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali bertukar pengalaman!”.
Wiro Sableng tertawa-tawa. “Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup puas untuk melakukan pertempuran? Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan….” Wiro gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain “Tapi aku ingin tahu nama dan siapa kau lebih dahulu.:..”.

Si orang tua kembali tertawa macam tadi yang menggetarkan seantero daerah batu karang itu. “Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan! Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku… akulah yang bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.

Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si berewok kaki buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan jahat). Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa bergelak: “Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong belaka dan berbau busuk bila ke luar dari pantat!”

Bladra Wikuyana bersuit marah.
“Bocah setan! Kau berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini…!”. “Wuuuuuutt”! Tongkat birunya disapukan ke bawah!

***​

TIGA

Angin sedahsyat topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan ke udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh! Hal yang hebat sekali terjadilah. Dua pukulan angin yang sama mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan menimbulkan letupan udara yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncak-puncak, karang bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro Sableng telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun demikian Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga sesaat tubuhnya menjadi limbung huyung!

Bladra Wikuyana terbeliak kaget. Hantaman tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya pemuda itu kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro Sableng ditihatnya masih berdiri utuh! Maka berserulah Bladra Wikuyana: “Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!” Habis berkata begitu manusia ini menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru dan murid itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng.

Si pemuda garuk kepala. “Tongkat itu hebat sekali!,” katanya dalam hati. Tapi dia tak menunggu lebih lama. Segera dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya puluhan tombak itu. Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya dari kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir! Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang tajam segera menangkap bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang sebelah Timur. Tanpa buang waktu Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana seekor rajawali demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu lenyap di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali!

Wiro berdiri di tepi jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju ke sana dan memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian dengan cepat menuruni tangga tali. Bagian bawah jurang batu itu hampir merupakan pedataran batu yang sedikit sekali tetumbuhannya. Penuh waspada Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba menggema suara suitan dari arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro segera menuju ke Barat!

Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro Sableng hentikan langkahnya dekat tangga tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali itu. Wiro berdiri di balik sebuah batu karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu karang itu bisa menjadi tameng baginya dari musuh yang menyerang dengan diam-diam. Dari balik batu berbentuk pilar ini dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu besar yang sangat rendah maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua besar. Kemudian didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini disambut oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua. Pemuda ini menunggu dengan tidak sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah masuk ke dalam gua itu? Dan apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu dia sudah berada di Perguruan Gua Sanggreng?

Tiba-tiba terdengar suara suitan yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat dari mulut gua ke luar dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak dan semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada pinggang masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya dengan milik Bladra Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan panjang mulai dari mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh Bergola Wungu.

“Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!,” seru Bladra Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri waspada di ujung pelataran. “Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau pertunjukkan kepadaku?!”
Bladra Wikuyana tertawa hambar. “Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan mata masih juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke mari berarti tak ada lagi jalan keluar! Berarti mampus di sini?!”.
Wiro Sableng menyengir. Katanya: “Kalau begitu kalian semua di sini juga sama-sama ikut mampus dengan aku!”.
Kembali Bladra Wikuyana tertawa hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.“Turunkan tangga tali,” perintahnya. Dua orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng segera melaksanakan tugas itu. Bladra Wikuyana berkemik. “Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau kepingin hidup terus…”

“Apa?” tanya Wiro Sableng kepingin tahu.
“Berlutut minta ampun di hadapanku dan bergabung denganku!”.
Wiro Sableng tertawa meledak. “Muridmu Bergola Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur! Tahu-tahu kini diajak bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin aturan…!”
“Kalau begitu kau datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata Bladra Wikuyana pula. Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali. “Bereskan dia dengan gebrakan enam tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra Wikuyana dengan geram sekali. Maka enam orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan
tongkat di tangan. “Ketahuilah:..” kata Bladra Wikuyana pula. “Yang akan kalian hajar itu adalah seorang bocah yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!” Bladra Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan serentak menyerang Wiro Sableng!

Enam larik sinar biru mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang sangat tak menentu, mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang pendekar bertangan kosong itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak: “Angin Topan Dari Barat! Kerapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju? Apa kau tidak punya nyali?!”.

Biadra Wikuyana menyahut dengan membentak: “Kalau kau ada urusan dengan salah seorang di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng…!” Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke udara dan menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus: Belut Menyusup Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran batu kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!

“Tolol,” maki Bladra Wikuyana pada murid-murudnya: “Aku beri kesempatan tiga jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian musti mundur dan terima hukuman!”. Ternyata gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan Pendekar 212. Kini karena takut terima hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan sebat dan lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!

“Ciaaat!” Bentakan dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu tengkuk anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh kedahsyatan bentakan tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini berdiri kaku tegang di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok
lawan. Sedang Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul! Rasa tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke muka. Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus angin topan dashyat yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya dari totokan! Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola Wungu: “Kau majulah, pimpin semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang surut!”.

Mendengar ini Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang dan bersuit keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian hitam-hitam dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang memegang golok panjang segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut lingkaran pasang surut, mengurung Wiro Sableng di tengah-tengah. Gilanya, yang mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak kemik dan sambil bersiul-siul.

Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan lingkaran yang sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar berputar ke kanan. Mula-mula lambat pelahan kemudian makin lama makin kencang, makin kencang sampai tubuh kedua puluh empat. manusia berpakaian hitam itu tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu yang menutupi pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan kawan-kawannya tiada henti berteriak melengking-lengking.
Karena putaran dua barisan lingkaran itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi lengking pekik hiruk pikuk yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua pandangan mata Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun beberapa jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut mendekatinya!

Bergola Wungu melihat lawan muiai terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu dan tebaskan goloknya ke kepala lawan yang terkurung ditengah lingkaran. Serangan ini datangnya secara pengecut yaitu dari belakang! Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu masih juga bersiul-siul seperti orang lupa diri!

***​
 
Last edited:
Patok #6
 
Back
Top